Sumber |
Sejak Bapak membawa binatang itu ke rumah aku sudah merasa tak nyaman. Rasanya seperti ada aura mistis yang melingkupi binatang itu. Sesuatu yang membuatku bergidik tiap kali bersirobok mata. Kilatan hijau yang penuh misteri, seperti kilau batu kecubung berwarna toska. Dalam dan dingin. Magis.
“Kucing
itu binatang kesayangan Kanjeng Rasul, Nduk. Siapa tahu kita ketiban barokah
memeliharanya. Syukurlah Kyai Rasyid memberikan kucing ini sebagai wasiat
kepada Bapak, sebentar lagi semua keinginan Bapak pasti terkabul,” sabda bapak
suatu sore. Tangannya mengelus-elus bulu oranye binatang itu. Tubuhnya bergelung
di pangkuan Bapak. Dengkurnya halus terdengar di sela-sela helaan napas Bapak
yang serak, tergerus rokok ratusan batang menahun.
Rasanya
iri sekali. Seumur hidup bahkan belum pernah sekalipun aku dibelainya. Belaian terakhir
yang kurasakan adalah belaian dari Ibu, belasan tahun yang lalu. Semenjak kepergian
ibu lalu sedih tiada henti menggayuti hariku. Sedih karena melihat kemusyrikan
Bapak semakin menjadi-jadi. Sedih karena semakin gelap mata duniawi. Segala cara
dilakukannya dengan berbagai ritual tak masuk akal. Ke laut, ke gunung, ke
dukun, entah kemana lagi. Terakhir kali Bapak bilang sudah tobat dan pergi ke
Kyai, tapi kembali dengan membawa seekor kucing yang katanya sakti.
“Lo,
kok malah ngelamun? Itu makanan buat si Manis apa sudah disiapkan? Kalau kita
memuliakan kucing ini, dia akan semakin bertuah, Nduk … akan semakin kaya kita
nanti …."
Buru-buru aku menyelinap ke dapur, sebelum kupingku memerah karena mendengarkan ceramah Bapak tentang kesaktian kucing itu. Lupakah Bapak bahwa yang membuatnya kaya selama ini adalah kegigihan istrinya dalam mencari nafkah? Lupakah Bapak bahwa yang memberinya rezeki selama ini adalah Dzat yang memberinya nyawa setiap hari? Nyawa yang disia-siakannya dan tak pernah diisinya dengan hal-hal yang berguna....
Buru-buru aku menyelinap ke dapur, sebelum kupingku memerah karena mendengarkan ceramah Bapak tentang kesaktian kucing itu. Lupakah Bapak bahwa yang membuatnya kaya selama ini adalah kegigihan istrinya dalam mencari nafkah? Lupakah Bapak bahwa yang memberinya rezeki selama ini adalah Dzat yang memberinya nyawa setiap hari? Nyawa yang disia-siakannya dan tak pernah diisinya dengan hal-hal yang berguna....
“Grrr…,”
geraman binatang itu sontak menyentakku dari lamunan. Ia menatapku lurus dengan mata hijaunya. Oh,
tidak! Apa yang sudah kulakukan? Mungkin ia marah karena aku salah membeli ayam cemani yang tidak
sesuai syarat dari Bapak. Aku memang sengaja membeli ayam cemani tiren sehingga
lebih murah, karena kupikir takkan jadi masalah bagi seekor kucing. Rupanya aku
salah. Geramannya semakin garang dan dia seakan siap menerkam.
“Ssst…kucing
manis, sini makan ayam ini ya…jangan marah, besok kalau ada uang kubelikan ayam
cemani segar untukmu…,”bujukku manis. Sudah setengah gila rupanya aku bicara
dengannya. Setengah gila karena pengaruh Bapak, rutukku dalam hati. Siasatku
berhasil. Binatang itu seperti bisa membaca sinyal perdamaian dariku. Hidungnya
mengendus-endus lalu menerjang potongan ayam tanpa ragu. Melihatnya makan dengan
lahap menerbitkan liur di bibirku. Pantas sudah masuk waktu makan siang. Terlambat
sedikit menghidangkan pasti Bapak akan mengomel panjang kali lebar. Kuasah pisau
dengan tergesa dan kusiapkan bumbu-bumbu yang akan dihaluskan.
*
* *
Sejam kemudian….
“Nduk,
kamu ndak ikut makan?”
“Sudah
Pak, tadi di belakang.” Kulirik hidangan di meja Bapak. Semur daging yang
sempurna.
Upss! Hampir saja mataku silap melewatkan sehelai bulu oranye di atas daging semur. Rupanya tadi aku kurang bersih mengulitinya. Sepertinya harus segera kubereskan sebelum Bapak menyadarinya….