Sumber |
Joko memutuskan untuk pulang
setelah lima tahun berlalu. Dia yakin kabar kepulangannya telah diketahui warga
kampung. Dia juga sudah
memperkirakan berbagai reaksi orang terhadap dirinya. Tapi dia tak peduli.
Sudah lima tahun berlalu dan Joko masih merasa
perih setiap kali mengingat peristiwa itu. Dia tak pernah menduga kepergiannya
menyebabkan malapetaka. Bapak tewas akibat serangan jantung, tak lama kemudian
menyusul ibunya terserang stroke hingga lumpuh. Hatinya sakit tiap kali
memikirkan itu, tapi dia belum berani kembali sebab belum menemukan jawaban
atas yang dicari. Kenapa tiba-tiba sekujur tubuhnya dipenuhi
benjolan-benjolan aneh serupa kutil yang membusuk tepat sebelum malam
pernikahannya; kenapa calon istrinya memutuskan untuk membatalkan pernikahan
mereka seketika itu juga; dan kenapa-kenapa lainnya yang senantiasa mengusiknya.
Sudah lima tahun berlalu dan penyakit kulitnya
belum sembuh juga. Tapi Joko tidak peduli. Mendiang ayahnya pernah berkata
begini, “Kalau kamu malu, tutup saja matamu dan teruslah berjalan lurus, habis
perkara.” Baru sekarang Joko berani mengamalkannya.
“Bagaimana, Nak. Apa sudah bulat tekadmu pulang
kampung esok pagi?” tanya Kyai Shaleh. Joko mengangguk mantap. Dia memandang takzim guru
mengajinya itu.
“Saya sudah siap dengan segala resikonya, Pak
Kyai. Niat saya ikhlas ingin mengurus ibu saya yang lumpuh. Sebentar lagi adik
saya satu-satunya akan menikah. Saya rasa inilah saatnya saya mengamalkan ilmu
yang selama ini saya pelajari dari Pak Kyai.”
Kyai Shaleh menepuk-nepuk pundaknya. Lalu
berkata, ”Ikhlas itu sesuatu hal yang sangat berat, Nak. Kamu siap dengan
cobaan atas niatmu itu?”
Joko terdiam. Pantang baginya merasa jumawa
atas hal yang belum tentu bisa dilewatinya. Dihelanya napas dengan berat, dan
ditangkupnya kedua tangan gurunya.
“Saya tahu pasti akan berat, Pak Kyai. Saya
tidak tahu apakah saya sanggup. Mohon doanya agar istiqomah….” Diciumnya kedua
tangan itu penuh khidmat, seakan-akan tidak akan pernah dilepaskannya.
Setitik air mata turut menetes di sudut mata
gurunya. Baginya Joko yang sekarang bukanlah Joko yang dulu, yang selalu
menyalahkan Tuhan atas segala yang menimpa dirinya. Joko yang sekarang tak
ubahnya seperti Nabi Ayub as yang senantiasa bersabar ditimpa ujian.
“Sebelum pergi besok pagi, jangan lupa mampir
ke rumah. Ada titipan untuk ibumu,” pesan Kyai Shaleh. Pesan itu membuat Joko
tak bisa tidur semalaman karena penasaran.
Esoknya, pagi-pagi sekali Joko sudah sowan ke
rumah gurunya. Kebetulan beliau sedang mengajarkan kajian kitab Ihya’ Ulumuddin
di ruang pendopo sejak sehabis shalat shubuh. Jantung Joko seakan mau copot
saat tiba-tiba Kyai Shaleh memanggilnya di hadapan semua orang.
“Hari ini kutitipkan padamu, sesuatu yang
paling berharga dalam hidupku. Kuharap dia akan memberikan bantuan yang besar
dalam perawatan ibumu. Aku yakin kau akan amanah dalam menjaganya, Nak.”
Dada Joko semakin berdebar kencang ketika Kyai
Shaleh tiba-tiba menjabat tangannya erat.
“Ankahtuka wa
zawwajtuka makhtubataka Binti Shaleh
alal mahri shuratul Fatihah….”
Joko tersentak, buru-buru dijawabnya
dengan bibir gemetar, “Qobiltu nikahaha wa tazwijaha ‘alal mahril madzkuur
wa radhiitu bihi, wallahu waliyut
taufiq.”
“Sah?”
“Saaah,” jamaah menjawab lantang.
Semua orang mengangkat tangannya dan
mengaminkan doa Kyai Shaleh.
Air mata Joko mengalir deras.
Tubuhnya gemetar membayangkan amanah baru yang tiba-tiba diembannya. Namun dia
lega, sangat lega meski putri Kyai Shaleh yang baru saja dinikahinya adalah
seorang yang buta.
Jumlah kata : 500 kata.