“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu” - Andrea Hirata.
Pelantang suara kabin membangunkanku dari tidur lelap. Pilot menginformasikan beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di Kingsford-Smith, Sydney. Dadaku disesaki rasa lega, takut, sekaligus cemas. Apakah perjalanan kami menuju Melbourne akan lancar hari ini?
Kucoba membangun pikiran positif. “Setidaknya kamu sudah menyelesaikan setengah perjalanan, Lia!” bisikku. Sebagai orang yang belum pernah ke Negeri Kanguru, memahami aksen Inggris-Australia menjadi tantangan. Padahal, dalam waktu singkat aku harus belajar ilmu baru di sana.
Di dalam bandara, suasana sangat padat. Kabarnya, saat itu musim liburan sekolah, banyak yang berpelesir bersama keluarga. Australia membebaskan warganya tidak mengenakan masker, sehingga orang-orang berlalu-lalang tanpa masker. Hal ini menambah rasa khawatirku.
Aku dan rekanku mengantre di bagian imigrasi. Antreannya panjang dan lama. Karena mencentang beberapa data di formulir cukai, kami perlu ke tempat pengecekan khusus. Setelah semua proses selesai, kami mencari-cari jalan ke area transit menuju Melbourne. Seharusnya semua lancar dalam waktu sejam.
***
Ternyata perkiraanku meleset. Sejam sebelum jadwal keberangkatan, orang-orang dari berbagai arah menyerbu antrean menuju pemberangkatan. Di depan kami tiba-tiba sudah panjang antrean.
Di ujung antrean kulihat seorang petugas wanita. Terengah-engah kuberlari ke arahnya.
“Kembali ke barisan dan ikut mengantre saja!” teriak petugas. Jelas tak ada keramahan di nada bicaranya. Gawat! Bagaimana kalau terpaksa bermalam di bandara? Pikiran buruk perlahan berkecamuk.
“Tapi penerbanganku beberapa menit lagi!” jelasku. Kutunjukkan tiket di tangan. Dia menggeleng.
“Tetap mengantre dan kami akan terbitkan ulang tiketnya,” dia menutup pembicaraan dan beralih melayani pengunjung lainnya. Lututku lemas.
Segera kuhampiri rekanku dan menjelaskan situasinya. Tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu.
***
“Tidak ada penerbangan setelah ini. Semuanya habis karena musim liburan. Kami akan jadwalkan ulang besok pagi. Kalian bisa pesan hotel di area bandara, nanti bisa di-refund, bla bla bla” kepalaku mulai pening, mencoba mencerna penjelasannya. Kali ini bukan soal aksen.
Terdampar di tempat asing dengan kondisi di luar rencana sungguh menguji ketabahan. “Tenang Lia, kamu pasti bisa!” batinku menyemangati.
Kami memutuskan berpindah ruangan, mencari sinyal internet. Kolega kami dari Australia harus terinfokan perubahan mendadak ini, juga pimpinan kami. Syukurlah di bandara ada sinyal WiFi yang bisa digunakan. Kolega kami bersedia membantu memesankan hotel.
Aku segera berjalan ke area pertokoan di dalam bandara, membeli nomor HP lokal. Kami harus memesan taksi daring dan keluar dari bandara secepatnya. Membeli nomor baru lebih mahal di bandara, lebih murah beli di toko retail. Tapi apalah daya, prioritas kami adalah ke penginapan secepatnya.
***
Hujan menyambut kami di Sydney. Beruntung hotel kami hanya beberapa menit dari bandara. Setelah lapor masuk ke resepsionis, kumasuki kamar. Kusapu pandangan ke sekeliling ruangan, sangat rapi dan nyaman.
Pemandangan dari jendela juga cantik. Tiba-tiba rasa kangen rumah menyergap. Keluargaku di tanah air sedang apa ya?
Sore itu kami sepakat berjalan kaki ke stasiun Mascot. Tak ada makanan di kamar, padahal lapar sudah menyerang sejak siang. Beberapa pekan sebelum keberangkatan, kubiasakan diri tak makan nasi. Sepotong roti sepertinya akan cukup mengganjal perut.
Di sepanjang jalan, tak cukup hujan deras, angin kencang pun menerjang tubuhku. Tiupan angin mematahkan rangka payung yang baru kubeli. Bajuku basah, sepatu juga basah. Kulangkahkan kaki lebar-lebar, setengah berlari mengikuti rekanku yang berjalan di depan.
Tentu saja dia terburu-buru, sebab hendak membeli nomor HP baru. Seperti kubilang, lebih murah di toko retail seperti Woolworths. Sebelum ke stasiun Mascot, kami mampir ke supermarket yang menguasi sepertiga pasar retail Australia itu. Sementara rekanku berbelanja, kusempatkan berfoto di depan supermarket.
***
Di stasiun Mascot, rekanku membelikan tiket lantaran aku tak punya kartu kredit. Untungnya dia tak mengomel, hanya geleng-geleng kepala. Mungkin dia heran, di zaman modern ini ternyata ada manusia yang tak memakai kartu kredit. Masalahnya, sebagian besar transaksi di sana menggunakan kartu kredit. Dengan kondisiku itu, terbayang kan, ke depannya seperti apa.
Kereta kami melaju menuju Circular Quay. Beberapa hari sebelumnya, aku melihat status medsos teman yang sedang berlibur ke Sydney dan naik kereta yang sama. Saat itu hatiku berbisik ingin naik kereta itu. Ajaibnya, beberapa hari kemudian, keinginan itu mewujud! Sampai merinding dibuatnya.
Sepanjang perjalanan kulemparkan pandangan ke luar jendela kereta. Hujan masih deras, udara semakin dingin. Detak jantungku melompat-lompat gembira. Beberapa menit lagi kereta kami akan berhenti.
Aroma laut menguar seketika. Pemandangan di jendela didominasi kapal-kapal yang hendak berlabuh, burung yang hinggap di pagar stasiun, seperti mimpi di sore hari. Samar terlihat bangunan putih di kejauhan, bentuknya serupa cangkang raksasa. Ya, itu Gedung Opera!
***
Senja itu, kuhabiskan waktu di dermaga. Hujan belum berhenti mengguyur pelabuhan, suasana sepi pengunjung. Kunikmati senja dalam diam. Langit kelabu, lampu-lampu bulat dengan ukiran khas, meja-meja kosong yang basah. Kubayangkan suasana seandainya tak turun hujan, pasti lebih indah dan romantis.
Hujan ini menambah galau. Apakah ini pertanda buruk? Rasa tak percaya diriku mulai kambuh.
Akankah perjalananku kali ini akan berhasil? Akankah dalam waktu singkat aku berhasil menguasai ilmu itu dan menerapkannya di Indonesia? Apakah aku, yang belajar Bahasa Inggris secara autodidak ini akan bisa memahami semua penjelasan mereka?
Buru-buru kutepis pikiran itu. Tak ada sehelai daun yang jatuh tanpa perkenan-Nya. Kuyakini hujan ini adalah anugerah, pembuka jalan untukku menikmati dermaga sepuasnya. Aku meyakini keberadaanku di sini bukan tanpa sebab. Bagiku, rencana yang gagal adalah rencana yang tidak pernah dicoba.
“Setidaknya kamu sudah menyelesaikan setengah perjalanan, Lia!” bisikku berulang-ulang.
Sejak tadi, rekanku sudah pergi. Dia berjanji menemui temannya di stasiun lain. Tinggal aku sendiri menanti seseorang yang istimewa.
***
Sosok ini kukenal di Komunitas Sastra Kemenkeu dan sangat piawai membaca puisi. Kebetulan ia sedang menyelesaikan S2 di sana, jadi kupikir siapa tahu bisa menyempatkan berjumpa. Tak dinyana ia merespons pesanku beberapa jam sebelumnya. Setelah beberapa menit menunggu, kami berhasil bertemu.
“Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya kita ketemu di dunia nyata ya?” kelakarnya.
Aku tergelak. Selama pandemi memang komunitas kami lebih sering mengadakan acara daring. Anehnya, meski belum pernah berjumpa secara fisik, aku merasa dekat dengannya. Kehangatan dan kerendahan hatinya tepat seperti perkiraanku selama ini.
Mungkin benar kata Rumi, “Lovers don’t finally meet somewhere, they’re in each other all along.” Kalau sudah sehati, rasanya keberadaan fisik jadi tak terlalu relevan. Duh, jadi melantur ke mana-mana.
***
“Mbak, aku ga pede nih, kalau gagal gimana?” lega rasanya setelah mengungkapkan isi kepalaku. Dia tersenyum.
“Jangan terlalu keras sama dirimu, Mbak,” ucapnya bijak.
Nyess, seperti ada yang mencair di hatiku. Selama ini aku terlalu menuntut untuk sempurna. Padahal beberapa hal bisa saja terjadi di luar rencana. Dan itu tidak apa-apa. Sebab kita manusia biasa, kuasanya sangat terbatas. Alih-alih fokus dengan apa yang tidak bisa dikendalikan, kenapa tidak fokus pada apa yang bisa dikendalikan?
Seharusnya aku bisa mengendalikan pikiran terlebih dulu kan?
Kami menghabiskan waktu di bagian rubanah Gedung Opera, di restoran dengan pemandangan laut yang indah. Malam itu kehadirannya seperti hadiah kedua setelah hujan yang turun seharian ini. Atau kalau dihitung dengan kondisi perubahan jadwal penerbangan kami, ini bisa dibilang hadiah ketiga.
Ah, rupanya aku salah besar. Sebenarnya lebih banyak lagi anugerah Tuhan yang belum kusyukuri. Bahkan tak berbilang jumlahnya, sebab kepicikan caraku memaknai berbagai situasi yang ada.