“Sekarang, Bung! Malam ini juga kita serukan proklamasi!” seru Chairul, berusaha meyakinkan lawan bicaranya.
“Aku bilang tidak!” lawan bicaranya tak mau kalah.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kita harus merebut kemerdekaan! Jangan percaya dengan janji omong kosong Jepang!” Sukarni mengompori.
Lawan bicaranya mendengus. Dasar darah muda! Darahnya begitu cair, mudah bergolak!
“Kalau Bung Karno tidak melakukannya hari ini juga, maka akan terjadi pertumpahan darah!” Wikana mengancam.
Brakkk! Bung Karno menggebrak meja. "Apa?!” Ia yang naik pitam serta-merta mencengkeram kerah baju Wikana.
“Ini batang leherku! Seretlah aku sekarang juga lalu potong saja sekalian. Kau kira kami takut dengan ancaman kalian?!”
Wikana terperangah. Demikian juga teman-temannya. Mereka semua hanya berani menggerutu dalam hati, “Dasar darah tua! Darahnya begitu tumpat, sulit sekali dibelokkan!”
Oeeeek! Terdengar tangisan bayi menjerit-jerit dari arah belakang.
Bung Karno semakin kesal, ditendangnya kaki meja dengan sebelah kakinya.
“Kalian sungguh keterlaluan! Jauh-jauh membawa kami ke Rengasdengklok pada dini hari, aku masih bisa mentolerir. Tapi kenapa pula harus membawa istri dan bayiku si Guntur? Usianya bahkan belum genap setahun! Kalian pikir bisa menekanku dengan cara kotor seperti ini, hah?!”
Bung Hatta yang sedari tadi hanya diam saja melihat pertikaian di hadapannya, tiba-tiba berkata, “Wahai para pemuda, kami bukannya gentar dengan ancaman balatentara Jepang. Jepang adalah masa lalu. Tantangan yang akan dihadapi bangsa ini kelak sungguh berat. Belanda pasti sudah siap menyerang. Bila itu terjadi, dengan kekuatan apa kita akan menghadapinya?”
Para pemuda tak mau kalah. Salah satu dari mereka berkata, “Tapi, kami siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan ini. Lagipula, kebanggaan apalagi yang tersisa bagi bangsa kita bila kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah?”
“Ah, dasar bebal! Kalau kalian mati, lalu siapa yang akan mengawal kemerdekaan bangsa ini? Kalau kita paksakan proklamasi hari ini, maka akan terjadi pertumpahan darah dan ribuan rakyat tak berdosa meregang nyawa. Apakah itu yang kalian inginkan?” Bung Hatta mulai tersulut api.
Oeeeek! Jeritan bayi Guntur memekik lagi.
“Kenapa, Fat?” Bung Karno bertanya pada istrinya.
“Entahlah. Dari tadi sepertinya Guntur mual dan muntah. Mungkin reaksi masuk angin akibat perjalanan jauh di pagi buta,” ujar istrinya dengan nada khawatir.
Bung Karno yang mendengarnya ikut cemas. Nalurinya sebagai bapak segera mengambil alih.
“Segera kembalikan kami ke Jakarta. Bagaimanapun caranya, bayiku harus segera dirawat. Kalau terjadi sesuatu padanya, kalianlah yang harus bertanggung jawab,” ancam Bung Karno.
Para pemuda menjadi jeri. Tanpa pikir panjang mereka segera bersiap membawa Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta untuk kembali ke Jakarta malam itu juga.
Djiaw Kie Siong -pemilik rumah tempat mereka berunding di Rengasdengklok- hanya mengantarkan sampai depan pintu.
Wajahnya tersenyum puas melihat mereka segera pergi. Diam-diam dibereskannya sisa obat pencahar yang telah dicampurkannya sedikit dalam bubur bayi tadi. Dalam hatinya dia memuji dirinya sendiri karena telah berhasil menyelamatkan bangsa ini.
***
Catatan: ini hanya sebuah dekonstruksi sejarah dari peristiwa Rengasdengklok. Kisah fiksi pendek ini semata-mata ditulis dalam ajang final Monday Flash Fiction 2 di tahun 2015. Belum pernah dipublikasikan di manapun.
Sejarah asli :
Peristiwa Rengasdengklok adalah salah satu peristiwa sejarah yang melatarbelakangi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sekelompok pemuda menculik Bung Karno, Bung Hatta, beserta Fatmawati, istri Bung Karno, dan Guntur yang masih bayi agar Bung Karno dan Bung Hatta tidak diintervensi pihak Jepang dan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejatinya hampir saja tidak ada kesepakatan di antara mereka. Namun karena telah terjadi kesepakatan antara Wikana dengan Achmad Soebarjo di Jakarta bahwa proklamasi akan dikumandangkan paling lambat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 12.00, maka akhirnya Achmad Soebarjo diperkenankan menjemput Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta di Rengasdengklok pada malam 16 Agustus 1945 itu. Sebagian besar dialog dalam kisah ini asli, tetapi beberapa bagian mengalami distorsi dan dekonstruksi.