Lastri mengetuk pintu dengan masygul. Didekapnya erat bungkusan
kotak dengan tangan kirinya. Hatinya resah menunggu pintu ruangan pemilik
pabrik dibuka.
“Silakan masuk…Nak Lastri, benar?” seorang bapak tua berkata
sambil menyilakan duduk.
“Iya Pak, saya yang tempo hari menelepon,” Lastri menjawab
dengan nada tak sabar. Tangannya menyodorkan kotak yang dibungkus rapi di atas
meja. Bapak tua membuka isi kotaknya perlahan.
“Jadi kamu jauh-jauh datang dari Jakarta semata-mata untuk ini? Pabrik sarung di
kota ini sangat banyak. Kenapa kamu bisa yakin sarung ini dibuat di sini?”
“Seperti yang sudah saya ceritakan sekilas kemarin, pengurus
di panti asuhan saya bilang kalau ibu kandung saya pernah bilang bekerja di
daerah sini. Dan menurut informasi yang telah saya kumpulkan, pabrik sarung
yang puluhan tahun masih ada di daerah sini hanya pabrik Bapak. Apalagi tadi
saya sempat melihat-lihat kalau sistem produksi di sini masih semi manual dan
pekerjanya juga sudah banyak yang berumur. Berarti seharusnya mudah bagi Bapak
untuk membantu saya menemukan ibu saya…,” Lastri bertanya dengan nada meninggi.
Tangannya meremas-remas kain roknya.
Bapak tua menghela nafas lalu bergegas ke pantry membuatkan kopi. Bau kopi yang
menyengat memenuhi seluruh ruangan.
“Diminum dulu Nak. Biar agak rileks.” Lastri menurut. Dihirupnya
kopi pelan-pelan.
“Bulan depan saya akan menikah Pak. Penting sekali bagi saya
untuk menemukan akar saya, siapa ibu saya dan siapa bapak saya. Seumur hidup
saya merasa ditelantarkan. Kenapa saya mesti dilahirkan kalau hanya untuk
dibuang? Saya merasa perlu mencari jawaban dan jawaban itu saya yakin bisa
ketemu dengan petunjuk sarung ini,” Lastri setengah terisak. Dia menyeruput
kopinya lagi.
“Hmm…jarang sekali memang ada orang yang membungkus bayi
dengan sarung, biasanya dengan jarit atau dengan selimut bayi. Mungkin ibumu memang
ingin kamu mencarinya Nak,” bapak tua menenangkan Lastri.
“Mungkin saya bisa membantu Nak, mungkin juga tidak. Coba kamu
tanya ke Pak Harso, kepala bagian arsip pegawai. Ruangannya ada di gedung sebelah
ruang produksi. Siapa tahu kamu menemukan petunjuk di sana. Semoga kamu berhasil
dan selamat atas pernikahanmu…,” bapak tua itu memberi petunjuk.
Senyum mulai mengembang dari bibir Lastri. Diucapkannya terima
kasih berkali-kali kepada bapak pemilik perusahaan. Diciumnya tangan bapak tua
itu dengan takzim sambil meminta doa agar usahanya lancar. Lastri bergegas menemui
Pak Harso dengan seribu tanda tanya.
* * *
Bapak tua merapikan cangkir bekas kopi yang terhidang di
meja sambil berurai air mata. Dicucinya bersih cangkir, sendok, dan piring
kecil sebagai alas cangkir agar tak menimbulkan jejak. Tak lupa dibuangnya sarung
yang ada di meja, kotak pembungkus, dan sebungkus arsenik yang disembunyikannya
di bawah toples kopi.
“Maafkan bapakmu ini, Lastri. Bapak hanya tak ingin aib masa
lalu Bapak terbongkar. Wajahmu mirip benar dengan ibumu, wanita yang dulu
kuhamili dan bunuh diri setelah membuangmu dua puluh tujuh tahun yang lalu. Bapak
tak sanggup menghadapi kenyataan pahit dan tak sanggup kehilangan nama baik di
depan keluarga besar. Mungkin memang harus berakhir begini…,” Pak tua membatin.
Tangannya membawa bungkusan berisi semua barang bukti yang hendak dibuangnya ke
tempat pembakaran di belakang pabrik.
* * *
Jumlah kata : 487 kata