Koleksi Pribadi |
Jarum jam tepat menunjukkan pukul sembilan ketika kami, tim sosialisasi KPP Pratama Jakarta Cilandak, memasuki ruang siaran Bens Radio, Jumat (20/7) lalu. Suasana menghangat ketika Bang Arya Tanjidor dan Mpok Ozha menyambut dengan keramahannya yang selalu ekstra. "Kirain bakal telat siaran," ujar Bang Arya. Kami senyum-senyum saja, menutupi rasa bersalah sebab tidak datang lebih awal. Mungkin benar bahwa kepercayaan diri yang terlalu besar dapat membuka peluang melakukan kesalahan.
Ya, kami memang terlalu percaya diri sebab ini bukan pertama kali bekerja sama dengan stasiun radio Betawi ini. Sebelumnya, di segmen bertajuk "Kopi Anget" kami pernah membawakan tema seputar PP 46 Tahun 2013, serta e-filing dan E-FORM untuk pelaporan pajak tahunan. Kali ini, kami membawakan tema yang sedang populer dan ramai dibahas: PP 23 Tahun 2018.
Obrolan kami langsung dimulai dengan pertanyaan terbuka dari Bang Arya, "Kenapa tarif pajak UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) turun jadi setengah persen?" Dengan bahasa sederhana, kami mencoba menjelaskan latar belakang diterbitkannya aturan tersebut. Selain untuk kemudahan usaha dan prinsip keadilan pajak, aturan ini sebenarnya memberikan pengusaha UMKM sedikit ruang gerak dan "napas lega" untuk mengembangkan usahanya.
"Jadi misalnya nih, yang biasanya Bang Arya bayar ke bank itu sebesar satu persen dari omset per bulan, sekarang Abang cukup bayar setengahnya. Setengahnya lagi diputar untuk menambah modal usaha. Dengan (tambahan modal) itu usahanya makin berkembang, bayar pajaknya juga ke depannya bisa lebih banyak," jelas saya. Penyiar bernama asli Arya Iman Rahman itu mengangguk-angguk paham sebab rupanya dia juga termasuk pelaku UMKM.
Di acara ini, kami membagikan sedikit pengalaman menarik soal reaksi beberapa wajib pajak UMKM yang selama ini sudah menyetor pajak dengan tarif satu persen. Sebagian dari mereka berpendapat tetap akan menggunakan tarif satu persen alih-alih tarif diskon sebab tidak merasa berat karena nominalnya relatif kecil. Itu adalah sebuah kabar yang menggembirakan. Artinya telah tercipta kepatuhan sukarela dan rasa kesadaran pajak.
Memang perlu diakui, pasca Amnesti, perkara pajak tak lagi menempati ruang elit dan hanya untuk kalangan terbatas. Semua orang antusias bicara tentang pajak. Perlahan tapi pasti, seiring dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan, masyarakat akan melihat hasil nyata dari pembayaran pajak yang telah disetorkannya. Hal ini tentu sangat baik dalam mengatrol kepatuhan pajak.
Selanjutnya kami menjelaskan tentang siapa saja yang akan dikenai PPh final setengah persen ini. Awalnya, kami dari tim sosialisasi sepakat untuk tidak mengangkat isu pajak bagi pedagang kaki lima, namun rupanya pertanyaan itu memang tak terelakkan. "Selama ber-NPWP mereka juga wajib menyetor PPh Final setengah persen," jawab Harianto Wibowo, rekan saya.
Rupanya respons dari sepasang penyiar di hadapan kami justru mengejutkan. Mereka tidak bereaksi negatif, bahkan seakan mengafirmasi bahwa itu memang hal yang sepatutnya. "Iya, apalagi kalau pedagang kaki limanya macam yang di berita itu, jual telur gulung dengan omset 5 juta rupiah per hari," komentar Bang Arya. Kini giliran kami yang kaget.
Lebih lanjut, Bang Arya menjelaskan kalau biaya produksi mereka relatif kecil sebab minim ongkos sewa, sementara target pasarnya luas sebab harga jual yang sangat terjangkau. Sambil bercanda ia berkata kalau sempat mempertimbangkan untuk alih usaha berdagang telur gulung saja. Belakangan, saya sempat berselancar di dunia maya dan menemukan video tentang seorang pedagang telur gulung beromset seratus juta rupiah per bulan dengan menghabiskan satu ton telur.
Meski masih membutuhkan telisik lebih lanjut, namun informasi ini benar-benar mengubah cara pandang saya terhadap pedagang kaki lima dan pengusaha kecil. Pantas saja banyak pakar ekonomi yang berpendapat bahwa UMKM sangat liat dan tangguh melewati badai krisis yang memengaruhi sendi perekonomian negeri. Di tengah kelesuan ekonomi, UMKM seakan menjanjikan harapan baru melalui geliat perdagangan elektronik.
"Berapa sih, potensi pajak dari UMKM ini?" lagi-lagi pertanyaan kritis menanti jawaban kami. Menurut informasi di media massa, realisasi penerimaan pajak dari UMKM bakal meningkat di kisaran 1,5-2 triliun rupiah seiring dengan ditetapkannya aturan baru ini. Namun, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, saya coba memberikan angka konkret dari hasil sosialiasi internal.
"Jadi, jumlah UMKM di Indonesia sekitar 59 juta unit usaha, menopang sekitar 60,3% Produk Domestik Bruto. Yang sudah punya NPWP baru 1,5 juta unit dan menyumbang sekitar 5,82 triliun rupiah. Masih jauh sekali kontribusinya terhadap target kami sekitar 1.400 triliun rupiah," jelas saya, dengan telak membuatnya terperangah. Kali ini kami seri.
Perbincangan hangat kami sesekali diselingi lagu-lagu era 90-an sebab segmen ini menyasar audiens di kisaran umur 30 tahun ke atas. Stasiun radio yang didirikan seniman legendaris Benyamin S. Itu mempunyai pendengar setia 1,5 juta orang dengan komposisi terbanyak berprofesi sebagai wiraswasta (40%), sangat sesuai dengan target kami. Sesekali penyiar memutarkan lagu tema sosialisasi PP 23 Tahun 2018 berjudul "Setengah Persen Sepenuh Hati" untuk membangkitkan animo pendengarnya.
"Tak selamanya lo, Bang, para pelaku UMKM bisa pakai tarif setengah persen ini. Ada jangka waktunya. Untuk usaha perorangan hanya sampai tujuh tahun, untuk PT tiga tahun, sedangkan CV, Firma, dan Koperasi empat tahun," jelas kami.
"Lalu setelah masa itu selesai? Pakai apa? Pembukuan?" Kami membenarkan.
Reaksinya seperti yang kami duga. Raut wajahnya keruh. "Pembukuan itu kan repot ya, ribet," keluhnya.
"Sebenarnya kan pembukuan bagus untuk mengevaluasi usaha yang sudah dijalankan. Contohnya usaha Abang, misalnya tidak dilakukan pembukuan, ketahuan belum untung-ruginya berapa? Jangan-jangan tidak dilakukan pemisahan harta sehingga uang modal ikut terpakai konsumsi," urai saya. Sesi sosialisasi memang sebagian besar terisi motivasi alih-alih teknis perpajakan.
Kami menjelaskan lebih jauh soal pentingnya UMKM mempunyai pembukuan sederhana. Selain untuk mengetahui kondisi laba atau rugi dan memudahkan pengambilan keputusan, pelaku UMKM juga akan lebih siap dalam pengembangan usaha. Dengan adanya pembukuan yang baik akan mendukung pengajuan pinjaman modal kepada pihak ketiga, membuka peluang mengikuti lelang pekerjaan, dan lain sebagainya. Pemerintah pun telah berjanji untuk memberikan kemudahan terkait aturan standar pembukuan yang akan digunakan UMKM ini. Apalagi, di zaman milenial ini bertebaran aplikasi pembukuan sederhana buatan anak negeri. Maka, seharusnya soal pembukuan dipandang sebagai sebuah tantangan baru alih-alih sebuah ancaman.
Syukurlah, kedua penyiar kawakan itu tampak sepakat dengan penjelasan kami. Di penghujung acara kami masing-masing diminta untuk memberikan pesan kepada para pendengar. Pesan pertama, rekan saya Harianto memberikan ajakan kepada para pelaku UMKM untuk mendukung aturan ini. "Bayangkan seandainya seluruh pengusaha UMKM berkontribusi kepada negara, tentu hasilnya akan lebih dahsyat," pungkasnya.
Pesan saya sederhana, "Jangan takut ke kantor pajak. Kami menyediakan meja layanan konsultasi perpajakan gratis. Kalau masih segan juga, masyarakat bisa menghubungi saluran lain seperti menelepon 1500200, live chat, dan bertanya via akun Twitter Kring Pajak."
Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan KPP Pratama Jakarta Cilandak, Bapak Herry S. Wulan mengucapkan terima kasih kepada pengusaha UMKM yang selama ini telah berkontribusi melalui pembayaran PPh Final 1% dan tetap menjadi wajib pajak yang taat dengan menghitung dan menyetorkan pajak yang benar.
Tanpa terasa satu jam telah berlalu. Tugas kami selesaikan dengan hati riang. Tetiba saya teringat pantun yang dulu sering diucapkan pendiri stasiun radio ini, "Gelombang laut itu bahaya, gelombang Bens Radio bikin bahagia."
Ya, kami memang terlalu percaya diri sebab ini bukan pertama kali bekerja sama dengan stasiun radio Betawi ini. Sebelumnya, di segmen bertajuk "Kopi Anget" kami pernah membawakan tema seputar PP 46 Tahun 2013, serta e-filing dan E-FORM untuk pelaporan pajak tahunan. Kali ini, kami membawakan tema yang sedang populer dan ramai dibahas: PP 23 Tahun 2018.
Obrolan kami langsung dimulai dengan pertanyaan terbuka dari Bang Arya, "Kenapa tarif pajak UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) turun jadi setengah persen?" Dengan bahasa sederhana, kami mencoba menjelaskan latar belakang diterbitkannya aturan tersebut. Selain untuk kemudahan usaha dan prinsip keadilan pajak, aturan ini sebenarnya memberikan pengusaha UMKM sedikit ruang gerak dan "napas lega" untuk mengembangkan usahanya.
"Jadi misalnya nih, yang biasanya Bang Arya bayar ke bank itu sebesar satu persen dari omset per bulan, sekarang Abang cukup bayar setengahnya. Setengahnya lagi diputar untuk menambah modal usaha. Dengan (tambahan modal) itu usahanya makin berkembang, bayar pajaknya juga ke depannya bisa lebih banyak," jelas saya. Penyiar bernama asli Arya Iman Rahman itu mengangguk-angguk paham sebab rupanya dia juga termasuk pelaku UMKM.
Di acara ini, kami membagikan sedikit pengalaman menarik soal reaksi beberapa wajib pajak UMKM yang selama ini sudah menyetor pajak dengan tarif satu persen. Sebagian dari mereka berpendapat tetap akan menggunakan tarif satu persen alih-alih tarif diskon sebab tidak merasa berat karena nominalnya relatif kecil. Itu adalah sebuah kabar yang menggembirakan. Artinya telah tercipta kepatuhan sukarela dan rasa kesadaran pajak.
Memang perlu diakui, pasca Amnesti, perkara pajak tak lagi menempati ruang elit dan hanya untuk kalangan terbatas. Semua orang antusias bicara tentang pajak. Perlahan tapi pasti, seiring dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan, masyarakat akan melihat hasil nyata dari pembayaran pajak yang telah disetorkannya. Hal ini tentu sangat baik dalam mengatrol kepatuhan pajak.
Selanjutnya kami menjelaskan tentang siapa saja yang akan dikenai PPh final setengah persen ini. Awalnya, kami dari tim sosialisasi sepakat untuk tidak mengangkat isu pajak bagi pedagang kaki lima, namun rupanya pertanyaan itu memang tak terelakkan. "Selama ber-NPWP mereka juga wajib menyetor PPh Final setengah persen," jawab Harianto Wibowo, rekan saya.
Rupanya respons dari sepasang penyiar di hadapan kami justru mengejutkan. Mereka tidak bereaksi negatif, bahkan seakan mengafirmasi bahwa itu memang hal yang sepatutnya. "Iya, apalagi kalau pedagang kaki limanya macam yang di berita itu, jual telur gulung dengan omset 5 juta rupiah per hari," komentar Bang Arya. Kini giliran kami yang kaget.
Lebih lanjut, Bang Arya menjelaskan kalau biaya produksi mereka relatif kecil sebab minim ongkos sewa, sementara target pasarnya luas sebab harga jual yang sangat terjangkau. Sambil bercanda ia berkata kalau sempat mempertimbangkan untuk alih usaha berdagang telur gulung saja. Belakangan, saya sempat berselancar di dunia maya dan menemukan video tentang seorang pedagang telur gulung beromset seratus juta rupiah per bulan dengan menghabiskan satu ton telur.
Meski masih membutuhkan telisik lebih lanjut, namun informasi ini benar-benar mengubah cara pandang saya terhadap pedagang kaki lima dan pengusaha kecil. Pantas saja banyak pakar ekonomi yang berpendapat bahwa UMKM sangat liat dan tangguh melewati badai krisis yang memengaruhi sendi perekonomian negeri. Di tengah kelesuan ekonomi, UMKM seakan menjanjikan harapan baru melalui geliat perdagangan elektronik.
"Berapa sih, potensi pajak dari UMKM ini?" lagi-lagi pertanyaan kritis menanti jawaban kami. Menurut informasi di media massa, realisasi penerimaan pajak dari UMKM bakal meningkat di kisaran 1,5-2 triliun rupiah seiring dengan ditetapkannya aturan baru ini. Namun, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, saya coba memberikan angka konkret dari hasil sosialiasi internal.
"Jadi, jumlah UMKM di Indonesia sekitar 59 juta unit usaha, menopang sekitar 60,3% Produk Domestik Bruto. Yang sudah punya NPWP baru 1,5 juta unit dan menyumbang sekitar 5,82 triliun rupiah. Masih jauh sekali kontribusinya terhadap target kami sekitar 1.400 triliun rupiah," jelas saya, dengan telak membuatnya terperangah. Kali ini kami seri.
Perbincangan hangat kami sesekali diselingi lagu-lagu era 90-an sebab segmen ini menyasar audiens di kisaran umur 30 tahun ke atas. Stasiun radio yang didirikan seniman legendaris Benyamin S. Itu mempunyai pendengar setia 1,5 juta orang dengan komposisi terbanyak berprofesi sebagai wiraswasta (40%), sangat sesuai dengan target kami. Sesekali penyiar memutarkan lagu tema sosialisasi PP 23 Tahun 2018 berjudul "Setengah Persen Sepenuh Hati" untuk membangkitkan animo pendengarnya.
"Tak selamanya lo, Bang, para pelaku UMKM bisa pakai tarif setengah persen ini. Ada jangka waktunya. Untuk usaha perorangan hanya sampai tujuh tahun, untuk PT tiga tahun, sedangkan CV, Firma, dan Koperasi empat tahun," jelas kami.
"Lalu setelah masa itu selesai? Pakai apa? Pembukuan?" Kami membenarkan.
Reaksinya seperti yang kami duga. Raut wajahnya keruh. "Pembukuan itu kan repot ya, ribet," keluhnya.
"Sebenarnya kan pembukuan bagus untuk mengevaluasi usaha yang sudah dijalankan. Contohnya usaha Abang, misalnya tidak dilakukan pembukuan, ketahuan belum untung-ruginya berapa? Jangan-jangan tidak dilakukan pemisahan harta sehingga uang modal ikut terpakai konsumsi," urai saya. Sesi sosialisasi memang sebagian besar terisi motivasi alih-alih teknis perpajakan.
Kami menjelaskan lebih jauh soal pentingnya UMKM mempunyai pembukuan sederhana. Selain untuk mengetahui kondisi laba atau rugi dan memudahkan pengambilan keputusan, pelaku UMKM juga akan lebih siap dalam pengembangan usaha. Dengan adanya pembukuan yang baik akan mendukung pengajuan pinjaman modal kepada pihak ketiga, membuka peluang mengikuti lelang pekerjaan, dan lain sebagainya. Pemerintah pun telah berjanji untuk memberikan kemudahan terkait aturan standar pembukuan yang akan digunakan UMKM ini. Apalagi, di zaman milenial ini bertebaran aplikasi pembukuan sederhana buatan anak negeri. Maka, seharusnya soal pembukuan dipandang sebagai sebuah tantangan baru alih-alih sebuah ancaman.
Syukurlah, kedua penyiar kawakan itu tampak sepakat dengan penjelasan kami. Di penghujung acara kami masing-masing diminta untuk memberikan pesan kepada para pendengar. Pesan pertama, rekan saya Harianto memberikan ajakan kepada para pelaku UMKM untuk mendukung aturan ini. "Bayangkan seandainya seluruh pengusaha UMKM berkontribusi kepada negara, tentu hasilnya akan lebih dahsyat," pungkasnya.
Pesan saya sederhana, "Jangan takut ke kantor pajak. Kami menyediakan meja layanan konsultasi perpajakan gratis. Kalau masih segan juga, masyarakat bisa menghubungi saluran lain seperti menelepon 1500200, live chat, dan bertanya via akun Twitter Kring Pajak."
Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan KPP Pratama Jakarta Cilandak, Bapak Herry S. Wulan mengucapkan terima kasih kepada pengusaha UMKM yang selama ini telah berkontribusi melalui pembayaran PPh Final 1% dan tetap menjadi wajib pajak yang taat dengan menghitung dan menyetorkan pajak yang benar.
Tanpa terasa satu jam telah berlalu. Tugas kami selesaikan dengan hati riang. Tetiba saya teringat pantun yang dulu sering diucapkan pendiri stasiun radio ini, "Gelombang laut itu bahaya, gelombang Bens Radio bikin bahagia."
Artikel ini sebelumnya telah ditayangkan di www.pajak.go.id pada 23 Juli 2018 dan mendapatkan penghargaan sebagai Juara 1 Feature yang pernah dimuat di www.pajak.go.id.
Sumber : P2humas DJP |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^