Aku selalu bersembunyi di dalam lemari atau di
bawah tempat tidur ketika perang dunia itu terjadi. Perabot dapur yang
beterbangan, piring-gelas yang pecah, caci-maki yang memekakkan telinga,
bahkan nama-nama penghuni kebun binatang seakan keluar dari sarangnya. Membuatku
seringkali bersembunyi sampai tertidur karena bosan.
Penyebabnya biasanya itu-itu saja. Ayah pulang
pagi. Ayah tidak menyetor uang harian. Ayah ketahuan selingkuh. Ayah mengambil
uang simpanan ibu di lemari. Ayah pulang sambil teler. Paling parah waktu ayah
melakukan beberapa hal sekaligus: setelah berhari-hari dia menghilang tiba-tiba
pulang diantar seorang wanita yang menagih “uang senang” (aku tak tahu artinya
apa) sekaligus menagih uang minuman keras yang jelas tak bisa dibayarkan
lantaran ayah mabuk berat. Kukira akan dimulai perang dunia baru yang lebih
dahsyat tapi rupanya aku salah. Ibu hanya mendiamkan ayah. Ibu tetap memasak dan
menyiapkan semua kebutuhan ayah, dalam diam. Keheningan yang membuat ayah jengah.
Beberapa hari kemudian dia menghilang lagi.
“Bu, kapan Ayah pulang? Besok ‘kan Laras ulang tahun. Ayah janji mau belikan Laras boneka….”
“Bu, kapan Ayah pulang? Besok ‘kan Laras ulang tahun. Ayah janji mau belikan Laras boneka….”
Ibu hanya tersenyum samar lalu menghela napas
dalam. Jemarinya mengusap keningku lembut.
“Yang penting sekarang Laras cepat sembuh. Insya Allah Ayah akan menepati janjinya. Laras harus banyak berdoa ya, agar Ayah cepat pulang,” hibur ibu. Matanya berkaca-kaca. Mata itu, selalu berhasil menguatkanku. Meski seluruh badanku rasanya sakit dan ngilu. Mungkin ini efek demam berhari-hari. Ibu bilang aku kurang gizi jadi mudah terserang penyakit. Padahal aku hanya merindukan ayah saja. Mungkin juga hadiah boneka darinya.
“Laras, bertahan ya Nak, jangan tinggalkan Ibu…,” air mata ibuku menderas. Butirannya menetes ke sela jemari kami yang bertautan. Genggaman tangan ibu kurasakan mengencang. Tubuhku mengejang.
“Yang penting sekarang Laras cepat sembuh. Insya Allah Ayah akan menepati janjinya. Laras harus banyak berdoa ya, agar Ayah cepat pulang,” hibur ibu. Matanya berkaca-kaca. Mata itu, selalu berhasil menguatkanku. Meski seluruh badanku rasanya sakit dan ngilu. Mungkin ini efek demam berhari-hari. Ibu bilang aku kurang gizi jadi mudah terserang penyakit. Padahal aku hanya merindukan ayah saja. Mungkin juga hadiah boneka darinya.
“Laras, bertahan ya Nak, jangan tinggalkan Ibu…,” air mata ibuku menderas. Butirannya menetes ke sela jemari kami yang bertautan. Genggaman tangan ibu kurasakan mengencang. Tubuhku mengejang.
Esoknya kutemui sesosok tubuh terduduk lesu di pintu belakang rumah kami. Ayah tiri,
segelas kopi dan sebungkus racun tikus.
“Maafkan Ayah, Laras…. Ayah terlambat pulang,” diucapkannya kalimat itu berulang-ulang. Tangannya meremas rambutnya yang berantakan. Matanya merah menatap boneka dalam bungkusan plastik yang tergeletak di tanah.
Aku tersenyum senang. Ayah menepati janjinya.
“Maafkan Ayah, Laras…. Ayah terlambat pulang,” diucapkannya kalimat itu berulang-ulang. Tangannya meremas rambutnya yang berantakan. Matanya merah menatap boneka dalam bungkusan plastik yang tergeletak di tanah.
Aku tersenyum senang. Ayah menepati janjinya.
“Dasar pria tak bertanggung jawab! Kau kira
dengan mengakhiri hidupmu Laras akan kembali heh?! Minum saja racun itu kalau
berani, biar kau rasakan pembalasan Tuhan Yang Maha Adil!” hardik ibuku
tiba-tiba.
Tangisan ayah semakin kencang. Pundaknya berguncang-guncang
dalam dekapan ibu. Berdua mereka tenggelam dalam air mata. Sama sepertiku yang menangis
bahagia melihat mereka bersatu. Juga tangis sedih menyadari waktuku telah tiba.
Waktu untuk benar-benar meninggalkan ibu dan ayah tiriku yang sangat kucinta.
Jumlah kata : 388 kata
Karya ini diikutkan dalam ajang MFF Prompt #68. Penulis memilih fiksimini dari Andic
Winarasta Javaica untuk
dikembangkan menjadi FF, dengan judul sama seperti FF ini.
Sedih...:'(
BalasHapusCup..cup
Hapus*sodorin tisu
Trims sudah mampir :)
uwaaahh... keren mbak bikin 2 ff. ceritanya juga bagus. :)
BalasHapusTrims mbak, mumpung ada ide, sayang kalau dilewatkan :)
HapusTrims sudah mampir ya!
Nah, kok malah Laras yg meninggal? Kan kasian? Hiks ... ;(
BalasHapustapi begitu sayangnya sang Ayah ama Laras ampe mo bunuh diri sgala, walopun dia cuma ayah tiri. ;)
Iya mas. Seorang pemabuk bisa saja tidak sadar dg tanggung jawabnya. Tapi bagaimanapun dia tetap seorang manusia yg punya hati nurani. Thx utk selalu komen :)
HapusAwalnya marah-marah kok tiba-tiba saja udah pelukan?
BalasHapusItu bukan marah-marah Bang.... Mencegah dengan cara sebaliknya. Ah, kayak ndak ngerti bahasa wanita ajah :)
Hapus