"Karena yang terucap akan berlalu, yang tertulis akan abadi."
Kamis 19 Juli 2018 lalu, di hari ketiga cuti alhamdulillah saya diberikan kesempatan untuk mengikuti Workshop Menulis Pajak di Wisma Korindo yang diadakan oleh CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis). Saya sungguh beruntung masuk dalam barisan 30 peserta angkatan pertama yang mendapatkan kesempatan gratis! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Di tengah kekeringan ide dan kehausan ilmu, lokakarya ini semacam oase yang memenuhi dahaga.
Di awal acara, Mas Pras membuka acara dengan menjelaskan apa itu CITA. Sebuah tim yang secara progresif melakukan penelitian, analisis data, dan kajian kebijakan perpajakan untuk membantu banyak pihak mengambil keputusan. CITA juga sering mengadakan kegiatan sosialisasi perpajakan yang terbaru. Dirintis sejak 2014, lembaga ini memastikan konsisten untuk nirpartisan dan tidak menerima proyek pemerintah untuk menjaga independensi opini dan keberpihakan.
Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah bagaimana upaya pendirinya untuk menggaet generasi milenial dan memaksimalkan potensi mereka. Generasi ini adalah motor penggerak perubahan yang menjalankan desain utama sang arsitek. Yustinus Prastowo sebagai mentor memberikan mereka tugas membuat ringkasan jurnal internasional seorang satu per pekan. Dengan latihan "dasar" seperti ini, kebayang kan betapa pesat perkembangan pengetahuan mereka. Apalagi kemampuan menulisnya. Hasil memang tak pernah mengkhianati usaha.
Selanjutnya, Mas Pras menyilakan pemateri pertama, Mas Eko Praptanto alias Mas Epi untuk memulai sesinya. Dan pengalaman baru seketika menyergap benak saya....
Menulis Semudah Bertutur
Bagaimana jika kita mendadak disuruh membayangkan benda yang bulat, kuning, dan asam? Bagaimana jika sang penanya menyuruh kita menyebutkan tiga jawaban selain jeruk? Sedikit terkejut mungkin, tapi pasti otak kanan kita langsung mengambil alih. Kira-kira seperti itulah proses pemerahan ide sebuah tulisan. Menulis, apalagi tentang pajak tentu membutuhkan teknik tersendiri.
Begitulah salah satu cara materi dasar menulis dibawakan oleh Mas Epi. Interaktif dan menyenangkan. Waktu sejam lebih sedikit menjadi tak terasa ketika mantan redaktur pelaksana Majalah Bobo ini membagikan ilmunya dengan cara tak biasa.
Beberapa inti dari pelajaran menulis yang diberikannya antara lain:
1. Mulailah dengan menulis sesuatu dengan dilandasi kebahagiaan dan suka. Tulisan dengan model bercerita lebih disukai pembaca. Berikan sentuhan khas pada tiap tulisan kita.
2. Kata Ernest Hemingway, "Sederhana itu jenius." Hindari kalimat majemuk. Perbanyak kalimat tunggal. Gunakan kalimat positif.
3. Jangan membenci titik. Jangan terlalu cinta pada koma sehingga kalimat-kalimat menjadi panjang dan membuat pembaca tersesat. Kita pun bisa jadi tersesat pada tulisan sendiri.
4. Menulislah untuk menunjukkan informasi ke pembaca, bukan untuk menunjukkan bahwa kita pintar.
5. Berikan judul yang menarik sebab itu etalase tulisan kita.
6. Menulis adalah proses kreatif, carilah sesuatu yang tak lazim. Menulis pajak serupa meminumkan obat sirup ke anak kecil. Dia tak harus sadar minum obat, berikan obat dengan bentuk yang disuka.
7. Setelah menulis tinggalkan dulu tulisan itu, setelah beraktivitas lain akan terlihat kesalahan-kesalahan atas tulisan kita. Kalau bahasa guru saya, endapkan. Memang penyakit para penulis itu mudah jatuh cinta pada tulisannya sendiri (Edmalia, 2018)
8. Kadang kita membatasi diri dengan aturan yang ada. Begitu juga dengan menulis. Padahal menulis adalah proses kreatif. Perlu sering-sering senam otak. Ya macam membayangkan benda bulat-kuning-asam tadi.
9. Selamat menulis. Selamat menata kalimat jadi manfaat.
Brilian bukan? Setiap rangkaian kalimatnya adalah mutiara. Saya seakan menemukan harta karun dari dalam samudera. Seakan-akan saya ingin teriak "Eureka!".
Mantera dalam Untaian Kata
Membaca untuk menulis dan menulis untuk membaca dan menulis lagi, sepertinya adalah ruh dari materi di sesi kedua. Yustinus Prastowo membawakan materi sama menariknya dengan tulisan-tulisannya. Maafkan saya tak bisa menjelaskan materi teknis menulis sebab bukan itu yang memenuhi benak saya. Sebagai manusia dominan otak kanan, saya lebih cenderung menangkap suasana, ambience, dan mungkin tersihir dengan materi yang disajikan.
Semangat menulis adalah poin pertama. Masa kecil Mas Pras yang dibesarkan di Gunung Kidul, memberikan suntikan semangat untuk mengubah hidup. Penduduk di desanya rata-rata berpendidikan tak terlalu tinggi, kontradiktif dengan kesukaan ayahnya yang suka membaca Tempo. Maka, dari sanalah kegemarannya membaca bermula.
Referensi adalah poin kedua. Saya hanya bisa ndlongop alias terpana ketika melihat buku-buku yang ditunjukkannya sebagai referensi. Sumpah, hanya satu nama yang saya tahu, Charles Adams, itupun saya ingat karena sering jadi referensi dan hibrida antara Charles Darwin dan Bryan Adams (hii).
Kalau mau jadi penulis yang baik, banyak-banyaklah membaca yang berbobot. Itu akan mempengaruhi tulisan. Kalau banyak nulis tapi malas baca, bisa dipastikan yang ditulis adalah status FB (ngacung diam-diam).
Memampatkan ide bisa dilatih dengan mencuit di Twitter. Tapi untuk mengelaborasi ide memang perlu jam terbang yang tinggi. Menulis dan terus menulis. Itu poin ketiga.
Poin keempat, temukan gayamu. Mau menulis seperti apa? Mau ahli di satu bidang semacam landak atau di banyak hal seperti rubah? Yustinus Prastowo memilih menulis pajak dengan pendekatan interdisipliner. Memadukan pengetahuan dengan ilmu lainnya, terutama filsafat yang dikuasainya.
Fokus adalah poin kelima. Jangan tergoda menulis dengan topik lain ketika proses riset. Tetaplah teguh pada tujuan awal menulis. Apakah yang ingin dicapai dari tulisan kita? Setialah pada itu.
Yang terakhir adalah buka wawasan berpikir. Ingat kisah "Gua Plato". Semua orang dalam gua mengutuk sang pembaharu yang berani keluar dari gua dan mengabarkan keadaan di luar sana. Para nabi memang kadang ditolak di negeri sendiri. Tabahlah. Menulis memang pekerjaan untuk kemanusiaan. Dakwah bil hal dan berdimensi maknawi. Tak semua orang kadang bisa menerima.
Peta Pemikiran, Menulis Bebas, dan Waktu Teduh
Salah satu pengekang hasrat menulis adalah pemikiran bahwa hasil tulisan harus sempurna. Walhasil penulis akan sangat disibukkan dengan kegiatan pra-produksi dan berkutat dengan ide yang seringkali sulit ditangkap. Ini berat sebab menulis saja belum, bagaimana mungkin bisa memastikan hasil akhirnya?
Masalah riset juga seringkali membuat frustrasi. Beberapa penulis memilih tidak jadi menulis sebab merasa data yang sudah di tangan tidak cukup baik untuk diolah jadi tulisan. Kasihan sekali ide yang susah payah dicari itu malah terperangkap dalam benak tanpa sempat dicurahkan di tempat yang benar.
Maka, baik Mas Epi maupun Mas Pras sendiri bilang bahwa salah satu teknik untuk menulis yang baik adalah dengan membuat kerangka karangan. Buat peta pemikiran. Gambar lingkaran dengan tulisan tentang satu ide besar lalu buat cabang-cabang yang banyak dengan lingkaran-lingkaran kecil berisi detil. Ini lebih mudah untuk direalisasikan. Bisa jadi, dengan metode ini kita jadi lebih produktif sebab tiap subtema bisa dielaborasi menjadi beberapa tulisan baru.
Satu lagi teknik menulis yang diberikan para pakar menulis tersebut. Menulis tanpa pakem alias free writing, kalau menulis ya menulis saja. Ikuti saja keinginan hati kita. Di sinilah peran pembaca pertama alias first reader yang akan memberikan masukan. Jangan malu dan jangan takut dikritik. Kesalahan pertama penulis biasanya suka kapok menulis setelah diberi saran. Ya itu tadi, sebab terlalu cinta sama tulisan sendiri.
Seiring dengan bertambahnya referensi tulisan dan jam terbang, biasanya penulis akan piawai dalam swasunting. Kalaupun tak pandai juga tak perlu khawatir. Ada peran editor yang lebih jago soal itu.
Jangan lupa "endapkan" atau beri waktu jeda setelah selesai menulis agar "kotoran tulisan" kelihatan di pelupuk mata dan bisa segera disingkirkan. Gunakan kalimat efektif dan pangkas kalimat-kalimat yang tak perlu tanpa mempengaruhi makna tulisan.
Yustinus Prastowo sempat menyebutkan soal "Waktu Teduh". Ini penting sekali untuk memberikan ruang bagi penulis untuk berkontemplasi dan "menyepi" dari riuh kehidupan sehari-hari. Semacam menghela napas untuk jeda sejenak.
Dengan itu akal dan pikiran akan menjadi jernih, hati akan menjadi bening, inspirasi akan mudah datang dengan sendirinya. Beberapa penulis melakukannya di tiap sepertiga malam terakhir, sebagiannya saat beribadah di rumah peribadatan, ada juga yang berpelesir, naik gunung, dan lain sebagainya.
Buat saya waktu teduh sangat mudah didapat: mendengarkan lagu "Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan"-nya Payung Teduh sambil menatap wajah putri saya yang sedang lelap.
Jadi kalau sampai saat ini masih mengalami blocking disease alias kehabisan ide buat menulis, mungkin inilah saat yang tepat untuk mencari saat teduh. Tapi jangan terlalu lama sebab pesan kunci dari Mas Eko Praptanto yang selalu terngiang di telinga saya adalah "Apabila timbul keinginan untuk berhenti maka berhentilah untuk berhenti!
Ki-ka: Kak Jo, Bang Ginting, Mas Pras, Mbak Erin, saya, dan Mas Efenerr |
Wuih, jejakku pun sudah kaupetik dengan cantik..jangan-jangan, bayanganku pun tak tersisa lagi. Hahaha..keren mbak, ciyus!
BalasHapusTerima kasih :)
HapusAkhirnya... Terima kasih mbak'e.. Joss
BalasHapusSama-sama. Terima kasih sudah komen yah :)
Hapus