Credit: P2Humas DJP |
"Sebuah perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah kecil." ~Lao Tse~
Ada sebuah kisah tentang curahan hati seorang guru di Australia yang lebih khawatir muridnya tidak pandai mengantre daripada tidak pandai Matematika. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab, "Sebab agar seorang anak pandai Matematika kita hanya perlu melatihnya selama 3 bulan secara intensif, sedangkan untuk melatih agar anak mau mengantre dibutuhkan 12 tahun, bahkan lebih!" Menurut guru tersebut, menanamkan kesadaran mau mengantre sebagai salah satu pendidikan karakter membutuhkan waktu belasan tahun sebab sungguh bukan pekerjaan mudah membuat seorang anak memahami dan menghayati pelajaran berharga di balik mengantre. Namun, ketika pendidikan tersebut telah berhasil ditanamkan pada mereka, lihatlah hasil luar biasa yang mampu diberikan kepada negaranya. Dengan memahami pelajaran berharga di balik mengantre dan mengamalkannya sejak dini, masyarakat bangsa tersebut menjadi masyarakat disiplin yang menghargai waktu, menghormati sesamanya, menaati peraturan, dan yang terpenting akan malu apabila mengambil hak-hak orang lain.
Pendidikan kesadaran pajak tentu tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan pelajaran mengantre. Seandainya anak-anak di negara kita dididik untuk memahami bahwa semua fasilitas umum yang mereka nikmati sebagian besar dananya berasal dari pajak dan negara ini juga suatu saat bisa terbebas dari hutang bila semua warga negaranya taat membayar pajak, bukan tidak mungkin di masa mendatang Indonesia akan menjadi negara dengan Tax Ratio tertinggi dan angka kemiskinan terendah. Ini bukan hanya tugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semata. Perlu upaya berkelanjutan melalui proses pembelajaran sejak dini, yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan para siswa. Menyadari hal tersebut, DJP bekerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti telah mencanangkan program "Inklusi Kesadaran Pajak". Program ini merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pajak kepada tenaga pendidik dan para peserta didik melalui integrasi materi kesadaran pajak dalam kurikulum dan dunia pendidikan. Hal ini menjadi sebuah batu pijakan yang luar biasa, buah kerja keras dan ketekunan dari semua pihak dalam bersinergi menyatukan visi dan misi yang ada. Sebuah langkah awal yang sangat bersejarah bagi dunia pendidikan dan dunia perpajakan di Indonesia.
Namun, ketika mendengar berita tersebut, reaksi sebagian orang mungkin akan mengernyitkan dahi dan berkata, "Buat apa sih mengajari anak sekolah membayar pajak, bukankah itu terlalu sulit? Orang dewasa saja tidak paham tentang pajak." Reaksi semacam ini cukup wajar bila muncul di tengah masyarakat yang pengetahuan perpajakannya masih rendah.
Beberapa Wajib Pajak yang pernah berkonsultasi dengan penulis mengaku mereka berpikir bahwa sistem perpajakan di negara kita adalah official assessment, yaitu negara yang memperhitungkan dan menetapkan berapa pajak yang harus dibayar. Hal ini sungguh miris, mengingat bahwa negara kita sudah tidak lagi menganut sistem tersebut sejak Reformasi Perpajakan pertama di tahun 1984. Sebagian Wajib Pajak juga masih belum bisa membedakan mana pajak pusat dan pajak daerah. Sebagiannya lagi masih berpikir bahwa membayar pajak itu ke kantor pajak dan akan dikorupsi pegawai pajak. Yang lebih menyedihkan lagi, masih ada saja tenaga pendidik yang juga berpikiran seperti ini. Bila tenaga pendidiknya saja demikian, maka pendidikan seperti apakah yang akan diberikan kepada peserta didiknya?
Kondisi seperti inilah yang menjadi tantangan agar program Inklusi Kesadaran Pajak dalam dunia pendidikan mampu menciptakan generasi baru yang lebih baik daripada generasi sebelumnya. Generasi yang bukan sekadar menggunakan fasilitas umum tetapi juga ikut merawatnya sebab menyadari bahwa fasilitas tersebut sebagian besar sumber dananya berasal dari pajak; generasi yang peduli dengan berbagai permasalahan di sekitarnya dan memandang pajak bukan sebagai beban sebagai warga negara tetapi lebih sebagai sebuah bentuk kontribusi kepedulian dengan sesama; generasi yang tidak pernah mau mengikuti perilaku negatif pendahulunya dan rela berkorban kepada negara sebab menyadari bahwa dengan membayar pajak berarti telah ikut mempertahankan kemerdekaan bangsa dan meneruskan perjuangan para pahlawannya. Generasi emas yang dalam target pemerintah kita akan dicapai pada tahun 2045 nanti.
Untuk menandai dimulainya program ini, pada tanggal 11 Agustus 2017 nanti DJP akan mengadakan program "Pajak Bertutur" dengan target peserta 110.000 siswa dari SD hingga Perguruan Tinggi. Mereka akan diajak untuk mengikuti kegiatan dalam satu jam latihan yang akan diselenggarakan oleh masing-masing unit kerja DJP. Akhir-akhir ini gaungnya mulai terlihat di media cetak dan sosial media. Berbagai macam kegiatan kreatif dirancang untuk mengemas acara tersebut, mulai dari yang konvensional seperti lomba cerdas cermat, lomba membuat poster, lomba gerak dan lagu, lomba majalah dinding, hingga yang kekinian seperti lomba foto selfie dengan photobooth yang telah disediakan panitia, gameboard, game kahoot, dan sebagainya.
Kegiatan yang berjalan semarak dan menyenangkan tentu saja akan memberikan kesan yang mendalam dan bermakna positif bagi para pesertanya. Kesan tersebut diharapkan mampu menjadi stimulan awal untuk antusiasme dalam implementasi program Inklusi Kesadaran Pajak, yang selanjutnya akan diteruskan dengan integrasi dalam mata pelajaran dan pembiasaan nilai-nilai dalam keseharian sekolah. Metode seperti ini dirasa lebih efektif dan secara alamiah mampu memberikan penanaman nilai-nilai kesadaran perpajakan yang lebih kuat dalam membentuk karakter siswa, sehingga kelak ketika mereka terjun ke masyarakat akan mampu berperan sebagai seorang warganegara yang baik dan menaati peraturan perpajakan yang ada.
"Pajak Bertutur" seakan menjadi secercah cahaya harapan yang membuka jalan bagi keberlangsungan program "Inklusi Kesadaran Pajak" dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah momen yang menandai bangkitnya kesadaran perpajakan bangsa dan lahirnya generasi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Penulis berharap agar semua pihak yang terlibat mampu berkolaborasi dalam kegiatan ini sehingga dapat berlangsung dengan sukses dan mencapai tujuannya. Satu langkah awal dalam ribuan mil perjalanan panjang penuh tantangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang sadar pajak. Mari kita dukung dan sukseskan bersama!
Ada sebuah kisah tentang curahan hati seorang guru di Australia yang lebih khawatir muridnya tidak pandai mengantre daripada tidak pandai Matematika. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab, "Sebab agar seorang anak pandai Matematika kita hanya perlu melatihnya selama 3 bulan secara intensif, sedangkan untuk melatih agar anak mau mengantre dibutuhkan 12 tahun, bahkan lebih!" Menurut guru tersebut, menanamkan kesadaran mau mengantre sebagai salah satu pendidikan karakter membutuhkan waktu belasan tahun sebab sungguh bukan pekerjaan mudah membuat seorang anak memahami dan menghayati pelajaran berharga di balik mengantre. Namun, ketika pendidikan tersebut telah berhasil ditanamkan pada mereka, lihatlah hasil luar biasa yang mampu diberikan kepada negaranya. Dengan memahami pelajaran berharga di balik mengantre dan mengamalkannya sejak dini, masyarakat bangsa tersebut menjadi masyarakat disiplin yang menghargai waktu, menghormati sesamanya, menaati peraturan, dan yang terpenting akan malu apabila mengambil hak-hak orang lain.
Pendidikan kesadaran pajak tentu tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan pelajaran mengantre. Seandainya anak-anak di negara kita dididik untuk memahami bahwa semua fasilitas umum yang mereka nikmati sebagian besar dananya berasal dari pajak dan negara ini juga suatu saat bisa terbebas dari hutang bila semua warga negaranya taat membayar pajak, bukan tidak mungkin di masa mendatang Indonesia akan menjadi negara dengan Tax Ratio tertinggi dan angka kemiskinan terendah. Ini bukan hanya tugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semata. Perlu upaya berkelanjutan melalui proses pembelajaran sejak dini, yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan para siswa. Menyadari hal tersebut, DJP bekerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti telah mencanangkan program "Inklusi Kesadaran Pajak". Program ini merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pajak kepada tenaga pendidik dan para peserta didik melalui integrasi materi kesadaran pajak dalam kurikulum dan dunia pendidikan. Hal ini menjadi sebuah batu pijakan yang luar biasa, buah kerja keras dan ketekunan dari semua pihak dalam bersinergi menyatukan visi dan misi yang ada. Sebuah langkah awal yang sangat bersejarah bagi dunia pendidikan dan dunia perpajakan di Indonesia.
Namun, ketika mendengar berita tersebut, reaksi sebagian orang mungkin akan mengernyitkan dahi dan berkata, "Buat apa sih mengajari anak sekolah membayar pajak, bukankah itu terlalu sulit? Orang dewasa saja tidak paham tentang pajak." Reaksi semacam ini cukup wajar bila muncul di tengah masyarakat yang pengetahuan perpajakannya masih rendah.
Beberapa Wajib Pajak yang pernah berkonsultasi dengan penulis mengaku mereka berpikir bahwa sistem perpajakan di negara kita adalah official assessment, yaitu negara yang memperhitungkan dan menetapkan berapa pajak yang harus dibayar. Hal ini sungguh miris, mengingat bahwa negara kita sudah tidak lagi menganut sistem tersebut sejak Reformasi Perpajakan pertama di tahun 1984. Sebagian Wajib Pajak juga masih belum bisa membedakan mana pajak pusat dan pajak daerah. Sebagiannya lagi masih berpikir bahwa membayar pajak itu ke kantor pajak dan akan dikorupsi pegawai pajak. Yang lebih menyedihkan lagi, masih ada saja tenaga pendidik yang juga berpikiran seperti ini. Bila tenaga pendidiknya saja demikian, maka pendidikan seperti apakah yang akan diberikan kepada peserta didiknya?
Kondisi seperti inilah yang menjadi tantangan agar program Inklusi Kesadaran Pajak dalam dunia pendidikan mampu menciptakan generasi baru yang lebih baik daripada generasi sebelumnya. Generasi yang bukan sekadar menggunakan fasilitas umum tetapi juga ikut merawatnya sebab menyadari bahwa fasilitas tersebut sebagian besar sumber dananya berasal dari pajak; generasi yang peduli dengan berbagai permasalahan di sekitarnya dan memandang pajak bukan sebagai beban sebagai warga negara tetapi lebih sebagai sebuah bentuk kontribusi kepedulian dengan sesama; generasi yang tidak pernah mau mengikuti perilaku negatif pendahulunya dan rela berkorban kepada negara sebab menyadari bahwa dengan membayar pajak berarti telah ikut mempertahankan kemerdekaan bangsa dan meneruskan perjuangan para pahlawannya. Generasi emas yang dalam target pemerintah kita akan dicapai pada tahun 2045 nanti.
Untuk menandai dimulainya program ini, pada tanggal 11 Agustus 2017 nanti DJP akan mengadakan program "Pajak Bertutur" dengan target peserta 110.000 siswa dari SD hingga Perguruan Tinggi. Mereka akan diajak untuk mengikuti kegiatan dalam satu jam latihan yang akan diselenggarakan oleh masing-masing unit kerja DJP. Akhir-akhir ini gaungnya mulai terlihat di media cetak dan sosial media. Berbagai macam kegiatan kreatif dirancang untuk mengemas acara tersebut, mulai dari yang konvensional seperti lomba cerdas cermat, lomba membuat poster, lomba gerak dan lagu, lomba majalah dinding, hingga yang kekinian seperti lomba foto selfie dengan photobooth yang telah disediakan panitia, gameboard, game kahoot, dan sebagainya.
Kegiatan yang berjalan semarak dan menyenangkan tentu saja akan memberikan kesan yang mendalam dan bermakna positif bagi para pesertanya. Kesan tersebut diharapkan mampu menjadi stimulan awal untuk antusiasme dalam implementasi program Inklusi Kesadaran Pajak, yang selanjutnya akan diteruskan dengan integrasi dalam mata pelajaran dan pembiasaan nilai-nilai dalam keseharian sekolah. Metode seperti ini dirasa lebih efektif dan secara alamiah mampu memberikan penanaman nilai-nilai kesadaran perpajakan yang lebih kuat dalam membentuk karakter siswa, sehingga kelak ketika mereka terjun ke masyarakat akan mampu berperan sebagai seorang warganegara yang baik dan menaati peraturan perpajakan yang ada.
"Pajak Bertutur" seakan menjadi secercah cahaya harapan yang membuka jalan bagi keberlangsungan program "Inklusi Kesadaran Pajak" dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah momen yang menandai bangkitnya kesadaran perpajakan bangsa dan lahirnya generasi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Penulis berharap agar semua pihak yang terlibat mampu berkolaborasi dalam kegiatan ini sehingga dapat berlangsung dengan sukses dan mencapai tujuannya. Satu langkah awal dalam ribuan mil perjalanan panjang penuh tantangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang sadar pajak. Mari kita dukung dan sukseskan bersama!
Izin saran :), di setiap proyek infratruktur atau program fisik pemerintah lain dipasang spanduk besar bertuliskan semacam "Terimakasih Para Wajib Pajak, Proyek Ini dibangun Dari Pajak Kalian :)".
BalasHapusSaran yg luar biasaa...Semoga bisa segera direalisasikan agar menambah semangat para pahlawan bangsa ini dalam membayar pajak. Terima kasih sudah berkunjung :)
Hapus