Bagian ke-9 bisa dibaca di sini.
Kuedarkan pandangan yang buram ke sekeliling
ruangan. Para pengawalku sudah pergi. Mungkin orang tua itu yang menyuruh
mereka pergi. Antara lena dan jaga samar kudengar suaranya yang serak.
“Sudah sadar kau rupanya. Beruntung tubuhmu
masih bisa merespon mantraku dengan baik.”
Sosok berjubah hitam itu bergerak-gerak,
menimbulkan bayangan mengabur di mataku yang belum sepenuhnya normal. Bau
tubuhnya yang renta seperti kayu lapuk, membuatku semakin mual.
“Kalau ingin muntah keluarkan saja. Kemungkinan
besar sinar biru itu merusak sebagian sirkuit hologram di saraf pusatmu.
Beruntung darah setengah Ennearhg masih mengalir di darahmu. Sebuah kutukan dan
anugerah memang kadang tak jauh berbeda…,” bisiknya lagi. Bunyi tongkatnya sesekali
terdengar, mengetuk-ngetuk lantai putih yang dingin, menimbulkan
ketidaknyamanan di jaras dengarku.
Tunggu, sinar biru? Bagaimana dia…tahu?
“Kau lupa akulah yang diberkahi, yang bisa
melihat masa depan, dan membaca apa yang tersirat dari mata seseorang. Sebuah
berkah dan kutukan bagiku, karena tiap apapun keputusan yang kuambil, selalu
ada korban di situ, yang tak mampu kuhindari, bahkan terhadap orang yang
kukasihi sekalipun,” racaunya lagi.
Ah, dia selalu begitu. Ucapannya selalu
terlampau dalam, terlalu tinggi untuk kucerna. Membuatku semakin pusing saja.
“Sudah kubilang untuk menghentikan ini semua.
Dendam apa yang ingin kau balaskan Peter? Dari awal aku sudah mencegahmu menikahinya. Bahkan dari awal sudah kularang untuk mendekatinya. Tapi sifat keras kepalamu
ini memang sepertinya sudah digariskan mengalir dalam darahmu. Setengah Ennearhg….”
“Diaaaaam! Jangan teruskan lagi! Jangan sebut
aku setengah lagi! Aku Bjork murni! Aku tak terkalahkaaan!” tubuhku gemetar,
kepalaku berdenyut-denyut.
“Sudah cukup semua penghinaan ini! Seumur hidup
aku tak pernah diakui. Tidak sebagai Bjork, tidak juga sebagai Ennearhg. Mereka
menciptakanku, tapi juga menistakanku! Setelah fajar ketujuh akan kubuktikan bahwa
akulah Bjork sejati, yang terkuat dan akan menjadi pemimpin yang abadi. Semua
legiun akan bertekuk lutut padaku. Terutama Tuan Muffrowl terkutuk itu. Akan
kumusnahkan hingga seluruh klannya!” sumpahku bergema.
Sosok bungkuk itu mendekatiku pelan dan
mendesis, “Bagaimana mungkin kau musnahkan akar dari kehidupanmu sendiri?”
Aku tercekat. Tudung kepala hitam yang terus
menunduk itu lalu mendongak, memamerkan wajah setengah hangus setengah tak
berbentuk yang menyeringai.
“Katakan! Katakan padaku wahai Slakve tua! Apa
yang harus kulakukan untuk memenangkan pertarungan ini? Semua akan lebih mudah
bila sebelum fajar ketujuh kuhabisi Keyra dan semua kroninya. Sayangnya
kekuatanku masih lemah sedangkan waktuku semakin sempit. Bila sihir putih
sepenuhnya sudah menyelimuti seluruh ibukota maka aku tak punya kesempatan lagi
untuk memimpin Hepzeba. Semuanya akan direnggut oleh sang Komandan,” keluhku.
Tubuh Slakve tua itu lalu berlutut. Tangannya
yang keriput bergetar ketika mengunjukkan sesuatu. Sebilah pedang laser
berwarna biru.
“Hanya ada satu cara. Terimalah balas budiku kali
ini.”
“Tidak. Sekarang belum saatnya kau mati. Aku
masih memerlukan visi-visimu. Karena itulah aku dulu menyelamatkanmu. Kau tahu
seharusnya aku menghabisimu karena telah membocorkan rencana-rencana kami…,”
tolakku. Ingatan hari itu berkelebat di mataku. Tubuh baru Stephania yang terbujur kaku, masih dalam pengaruh mantra
Feamremorphia. Mantra itu harusnya memusnahkan jiwa Slakve tua itu juga. Tapi
kuputuskan untuk menyelamatkannya, merekonstruksi ulang tiap kepingan tubuh dan
jiwa yang bisa kutemukan. Satu hutang budi lagi yang harus dia balas di kemudian
hari, tiap kali aku memintanya.
“Karena itulah aku tak ingin hidup lebih lama
lagi. Terbelah-belah tanpa pernah kutahu berdiri di pihak mana. Terjebak dalam
sumpah pengabdianku pada klan Muffrowl dan sumpahku untuk selalu menjagamu.
Menyedihkan, aku bahkan tak kuasa menjaga putraku sendiri,” ujarnya getir.
“Tak cukupkah janjiku untuk selalu melindungi
Zyreth sampai kapanpun juga? Tak cukupkah itu untuk ditukar dengan penglihatanmu?”
Slakve tua itu lalu menghela napas, berat.
Tubuhnya yang bungkuk seperti bergerak-gerak tak tentu arah.
“Kau tahu Peter, tak semudah itu menghancurkan
Bjork Hybrida sepertimu. Kaummu adalah generasi baru, hasil teknologi rekayasa
pendahulumu, para Bjork murni. Mereka sepertinya sudah membaca ramalan purba
tentang kelahiran sang Putri Tunggal, juga eksistensi mereka yang di ambang
kehancuran. Maka langkah antisipasi terakhir telah mereka tempuh. Malam dimana anak
buah Tuan Muffrowl melepaskan
tubuh mereka demi mencipta sihir itu, adalah malam dimana mereka melepaskan partikel hologram inti, untuk
mengaktifkan kehidupan baru. Rezim lama musnah melebur menjadi peradaban baru.
Bjork memang tak tertandingi. Dan kau satu…teristimewa karena darah yang
mengalir di tubuhmu. Dengan suatu tipu daya mereka memperdayai Jenderal
Muffrowl dan mensintesa nutfahnya. Itu membuatmu menjadi Hybrida terkuat, tentu
saja selain Hybrida keturunan Jenderal Seringr yang lain –sang Komandan….”
“Tentu saja aku tahu semua itu. Jangan ceramahi
aku lagi. Bosan aku mendengarnya. Siapa aku sebenarnya tak penting lagi. Dan
jangan menyebut-nyebut sainganku itu…,” potongku tak sabar. Hatiku selalu kesal
tiap kali Slakve tua bangka itu menyebut-nyebut sejarah itu.
“Kali ini kau harus dengar. Karena akarmu
menentukan bagaimana ajalmu datang. Melepaskan tubuh Ennearhg takkan mempan
lagi untuk membunuhmu. Satu-satunya cara adalah dengan memusnahkan Tuan
Muffrowl. Jadi kuberi tahu satu hal, jangan pernah bunuh Tuan Muffrowl atau kau
akan mati….”
Kali ini mulutku benar-benar ternganga. Sial!
Tak kukira sepelik ini.
Tiba-tiba sebuah pencerahan terbersit di
kepalaku, “Aku tak boleh membunuhnya, tapi aku bisa menjadikannya budakku.
Sekarang tinggal bagaimana caranya memasuki benteng itu…,” otakku berpikir
keras mencari jalan bagaimana caranya agar aku bisa memusnahkan Keyra dan
kroninya tanpa melukai Tuan Muffrowl.
Tercipta jeda cukup lama. Hingga tiba-tiba
sebuah panggilan masuk. Sebuah suara yang dulunya sering kudengar. Mengajakku
untuk bertemu di sebuah tempat dimana dulu kami sering bertemu. Bukan, aku yang
menemuinya ketika dia sedang sendiri, tanpa ada yang menemaninya. Hatiku ragu
untuk membuka kanal saraf sensorikku, curiga bila ini jebakan. Namun akhirnya
kuputuskan untuk membukanya juga, lebih karena meyakini intuisi bahwa inilah
caraku menyusup ke dalam benteng mereka.
“Baiklah…aku segera ke sana,” ujarku menutup
pembicaraan. Slakve tua menatapku curiga.
“Kau menjerumuskan dirimu lagi? Sia-sia semua
yang kulakukan untuk menjauhkanmu dari kehancuran. Bukan visi-visiku yang sebenarnya
bisa menyelamatkanmu Peter, tapi kebijaksanaanmu. Sayangnya tak bisa kuharapkan
itu. Tidak dulu, tidak sekarang….”
“Hey, dia yang lebih dulu menghubungiku!
Mungkin dia pikir aku masih mencintainya seperti dulu. Atau mungkin dia pikir
bisa memperdayaku dan membunuhku dengan tipu muslihatnya. Dia masih saja naïf
seperti dulu.”
“Bahkan bila kau tahu dia akan menggiringmu
dalam kematian apakah kau akan mempersembahkan jiwamu di atas nampan?”
Cukup. Kali ini ucapan Slakve tua itu
kelewatan. “Tua bangka!!”
“Kukira sampai di sini pengabdianku, Peter. Tak
sanggup kuteruskan hidup untuk melihat kehancuran akibat keserakahanmu.
Kutuntaskan semua hutangku padamu. Hutang untuk melindungi keluargaku dari
kekejaman Bjork di masa pemberontakan dulu. Hutang untuk menjaga Zyreth. Juga
hutang telah menyelamatkanku dari mantra Feamremorphia. Kukembalikan semua
yang kupinjam darimu, agar tubuhmu yang lemah segera pulih dan mampu menghadapi
perang besar itu sendiri. Tiada gunanya semua visiku bila itu tak bisa mengubah
takdirmu,” ujarnya sendu.
Lalu kilatan-kilatan biru berkelebatan di
hadapanku. Butuh beberapa detik saja untuk menjadikan dia abu.
“Zorphaaaaaaaaan!!” Teriakanku bergaung ke
seluruh ruangan. Mataku nanar memandang pedang yang tergeletak di atas tumpukan debu. Sinarnya yang berwarna biru berpendar semakin terang, menandakan
kekuatanku telah pulih seperti sediakala. Ah, apapun yang terjadi kini harus
kuhadapi sendiri. Dasar Slakve tua bangka siaaaaal!!!
Credit |
Tempat itu bernama Lembah kematian. Sebuah tempat
yang sempurna untuk pembantaian. Kuyakini benar bukan hari ini akhir dari
hidupku. Slakve tua itu benar, bukan visinya yang bisa menyelamatkanku,
melainkan diriku sendiri.
Udara di sini masih terasa ringan, tanda aman
dari pengaruh sihir putih. Latar semburat warna-warni menghiasi langit di ujung
dini hari, menambah sikap awasku. Kutegakkan badan dan kujejakkan kaki
bersiaga ketika kutangkap sesosok tubuh wanita mendekat dari balik asap. Akhirnya
dia datang juga, wanita yang dulu selalu kurindukan….
“Stephania”
Wajahnya yang cantik seperti ditelan murka. Inilah
wajah sang Ruh yang dulu memikatku dan menjatuhkanku dalam luka. Luka karena
dia memilih setia pada jiwa yang didampinginya. Luka yang membakar dendamku dan
membuatku gelap mata.
“Sudah kuduga kau akan memakai segala cara
untuk menghancurkan Keyra. Rupanya begitu kronisnya kebusukan hatimu menjalar. Aku
tak peduli kau dari jenis Bjork atau Ennearhg. Tujuanku kali ini untuk
mengakhiri semuanya. Semuanya Peter!”
Seulas senyum licik tersungging di bibirku. Datanglah
cinta, menjemput mautmu. Tak ada yang tahu bahwa ada sebuah rahasia tentang
mantra Feamremorphia. Sebuah rahasia yang kutahu dari Zorphan, dan kupegang
erat sebagai kunci untuk memusnahkan wanita yang dulu kupuja ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^