Sumber |
Pucuk
cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah
meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri
yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap
kalau-kalau ada yang mendekat. Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau
rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
"Mas
Koyo," orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari
pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak.
"Saya Kiswoyo, masih ada hubungan darah dengan Mbak Uci," katanya
menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri!
Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. "Sudah gelap. Kelihatannya
dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di
rumah saya. Tak jauh dari sini," sambungnya.
Aku
mengangguk tanda setuju. Sedikit lebih lama lagi menunggu di luar sini bisa
jadi aku akan mati beku. Pria bernama Kiswoyo itu lalu menstarter motor
bebeknya. Berdua kami membelah jalanan malam yang mulai berkabut.
“Mas
Kis…maaf boleh tidak ya saya diantar ke rumah ibu saya saja,” ujarku setengah
berteriak menyaingi bising suara motornya. Dia
mengangguk lalu membelokkan arah ke desaku. Kira-kira sejam kemudian kami baru
sampai.
Rumah
masa kecilku masih sama. Kusam dan reyot, kalau tidak bisa dibilang hampir
rubuh. Ah, tentulah jam segini ibuku masih terjaga. Beliau biasanya
menghabiskan malam sambil menjahit di ruang tamu.
“Assalamualaikum
Bu…,” seruku sambil membuka pintu. Aku yakin ibu pasti tidak mengunci pintu
sebelum lewat tengah malam karena dulu terbiasa menunggu Bapak pulang larut.
“Koyo?
Kamu benar-benar Koyo??” Ibu menatap tak percaya. Ditangkupnya wajahku dengan
kedua tangannya yang renta. Wajahnya yang keriput tak mengurangi kecantikannya
di masa muda.
Aku
menghambur ke pelukannya. Diciumnya keningku berkali-kali. Satu-dua air matanya
menetesi wajahku. Bercampur dengan air mataku. Segala rasa teraduk-aduk menjadi
satu. Rindu, senang, sedih, dan entah apalagi.
“Assalamualaikum
Budhe…. Saya Kiswoyo,” tiba-tiba Kiswoyo sudah berdiri di ambang pintu
memperkenalkan diri. Ibu terkejut melihatnya.
“Kamu
saudara sepupunya Uci bukan?” tebak ibu. Kiswoyo mengangguk.
“Kebetulan
tadi saya lewat lapas dan melihat Mas Koyo lama menunggu. Tadinya mau saya bawa
menginap di rumah tapi Mas Koyo minta diantar ke sini,” jelasnya lagi.
Ibuku
mengangguk penuh rasa terima kasih. Pria itu lalu pamit pulang dan berjanji
kapan-kapan akan berkunjung lagi.
Selepas
Kiswoyo pergi, tinggal aku dan ibuku yang melanjutkan mengurai rindu.
Kusandarkan kepala di pangkuan ibu. Tangannya mengelus-elus rambutku yang
memutih. Terlalu lama rupanya kepedihan ini memisahkan kami.
“Maafkan
ya Nak, Ibu lupa kalau hari ini kamu dibebaskan. Maklum sudah umur…. Sudah
beberapa tahun ini Ibu belum mendengar kabar dari Uci. Mungkin dia masih trauma
dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu,” mata ibu mulai berkaca-kaca.
“Tak
apa Bu, nanti kita cari bersama-sama ya. Semoga saja bisa ketemu. Saya juga
rindu sekali dengannya. Bahkan bila memungkinkan kita pindah saja dari rumah
yang membawa kenangan buruk ini,” hiburku.
Ibu
mengangguk setuju. Air matanya berjatuhan lagi satu-satu.
“Maafkan
Ibu ya Nak, karena Ibu kamu harus mendekam di penjara sekian lama.”
Aku
menggeleng kuat. “Itu pilihan hidupku, Bu. Demi menjaga kehormatan keluarga ini,
kehormatan istriku, dan kehormatan Ibu. Demi kebahagiaan Ibu…,” hiburku lagi.
Pelukan
ibu semakin erat. Berdua kami larut dalam kenangan malam itu, malam jahanam
ketika bapakku yang sedang mabuk berat mencoba menodai Uci. Untunglah ibu
datang dan menyelamatkan istriku. Ibu yang terpojok dengan terpaksa memukulkan
botol minuman ke kepala bapak hingga ajal menjemput nyawanya. Aku yang baru
pulang bekerja terkejut mendapati kedua wanita itu berpelukan dan bersimbah
darah. Tanpa pikir panjang kuambil bongkahan pecahan botol terbesar dengan tanganku dan kuakui semua perbuatan ibuku. Biarlah kutanggung semuanya di
pundakku.
Alhamdulillah karya ini terpilih sebagai karya terpilih Prompt #70 di ajang MFF. Semoga bisa belajar lebih baik lagi :)
duh.....imajinya serem.
BalasHapuskebanyakan baca dan liat berita kriminal nih..
Malah ndak lo Mas, saya sudah lama gak nonton tv dan baca berita lo....
HapusMungkin kepala saya aja yang terlalu serem hehee
hihi gpp, serem tapi bagus mbak :D
BalasHapusTrims mbak Tika untuk singgah dan komen2nya :D
HapusJangan bosan yaaa