Rabu, 08 Mei 2019

Yubitsume

Editor: Riza Almanfaluthi

Pria dengan tubuh penuh tato itu masygul. Matanya nanar menerawang ke depan. Ketika reporter majalah Prancis L’Expansion mewawancarainya delapan tahun lalu, ia mengawali sesi itu dengan pernyataan muram, “Kami harus mengevolusi bisnis model kami.”



Masatoshi Kumagai saat itu telah membaca, gelombang perubahan zaman pelan-pelan akan menyapu bisnis sindikatnya. Itu bukan semata-mata sebab tekanan berat otoritas kepolisian Jepang atau Undang-Undang Anti Yakuza yang telah direvisi tiga puluh dua kali. Sebagai pimpinan dari klan Inagawa-kai, ia telah terlatih untuk menangkap berbagai macam pertanda dan ada lawan tak kasat mata yang lebih menakutkan baginya.

Tak semua pemimpin mampu membaca sinyal-sinyal perubahan dan bereaksi positif terhadapnya. Setiap pemikiran manusia adalah produk dari masa lalu. Perubahan yang datang tiba-tiba terkadang membuka jurang antara masa lalu yang penuh dengan kenyamanan dan masa depan yang penuh ketidakpastian.

Setiap fase perubahan selalu diawali dengan penyangkalan. Tak banyak yang tahu, pada 1975 seorang teknisi Kodak berhasil membuat kamera digital pertama. Ketika ia mempresentasikan hasil temuannya, orang-orang di bagian bisnis menertawakannya. Orang-orang pemasaran bahkan lebih memilih dihajar pendatang luar daripada membunuh produk mereka sendiri.

Hal itu berbeda dengan reaksi di tubuh pesaing mereka, Fuji. Mereka fokus pada laboratorium film digital dan menggelontorkan dana besar-besaran untuk pengembangan kamera digital dan produk-produk digital lainnya. Mereka lebih memilih untuk menghabisi produk lama secara perlahan dan dengan cerdas menciptakan pasar untuk produk baru mereka.

Setelah fase penyangkalan, ada pula fase kemarahan sebagai respons negatif atas derasnya gelombang perubahan. Seperti Kodak yang masih saja tak kunjung belajar dari kegagapan membaca perubahan. Membaca memang tak sama dengan melihat. Setelah sibuk menghadapi resistensi dari internal, pada 1990-an mereka baru mencoba peruntungan dengan kamera digital dan sempat berkolaborasi dengan Apple. Namun, keputusan eksekutif yang terlalu lamban menyebabkan pemecatan massal 27 ribu pegawai Kodak.

Setelah itu, Kodak mencoba peruntungannya di printer foto. Namun siapa yang tertarik mencetak foto ketika dengan mudah bisa diunggah di dunia maya? Di saat yang sama, terjadi perang dagang dengan Amerika. Jepang dibanjiri dengan perusahaan yang memproduksi rol-rol film dengan harga lebih murah. Kodak lalu sibuk mengkritisi pemerintah, menuding kurangnya proteksi dari kementerian perdagangan, dan menyalahkan kebijakan negara lain. Energi mereka habis tanpa sempat mengevaluasi dan mencari penyebab kekalahannya.

Puluhan tahun kemudian, ketika rol-rol film telah ditinggalkan di museum, Kodak tersungkur keluar dari arena, grup perusahaan Fuji–yang pada akhirnya tak bisa lolos dari badai disrupsi dunia digital—mengambil keputusan untuk merambah bisnis waralaba kedai tempat nongkrong para milenial.

Fase lain setelah kemarahan adalah fase meratap. Perenungan sebagai buah kesadaran atas kegagapan menghadapi perubahan jelas lebih baik daripada penyesalan karena tenggelam dalam amarah yang berkepanjangan. Blackberry pernah di fase ini, ketika pada 2014 pangsa pasarnya terjun bebas hingga lebih dari 90 persen. Penyangkalan dan sikap menipu diri terus terjadi hingga dua tahun kemudian perusahaan ini mengumumkan untuk menutup bisnis ponselnya pada September 2016.

Perusahaan ini, seperti juga perusahaan kelas dunia lainnya, telah terbiasa bermandikan cahaya. Sayangnya, cahaya yang terlalu terang kadang membutakan mata para pemimpinnya dalam melihat kebenaran. Kegelapan dan keheningan kadang diperlukan agar para pemimpin mampu memilah mana jalur yang benar, lalu kemudian berbalik arah secara harmonis dalam mengarungi gelombang perubahan.

Masa-masa kegelapan Blackberry tak berlangsung lama. Di tahun yang sama, Blackberry tumbuh menjadi salah satu penyedia sistem keamanan siber terbaik di dunia. Fase penyangkalan dan kemarahan tak dibiarkan menggerogoti perusahaan ini. Pendapatan segmen perangkat lunaknya melesat tumbuh sebesar 111 persen di kuartal kedua 2016.

Fase terakhir adalah fase adaptasi. Di fase ini, sebuah organisasi telah berdamai dengan badai yang menerjang. Para pemimpin telah menemukan peta yang benar dan belajar dari kepahitan fase-fase sebelumnya. Di fase inilah Yamagumi-guchi memutuskan untuk merekrut anggotanya via daring.

Organisasi Yakuza terbesar di Jepang ini meluncurkan situs resmi pada April 2014. Mereka menyadari bahwa anggota-anggota barunya adalah aset, alih-alih properti, yang memerlukan peningkatan kapasitas untuk mempertajam gerak langkah organisasi. Untuk melancarkan komunikasi antara pemimpin dan anggota, mereka menerbitkan majalah untuk lebih dari 27 ribu anggotanya.

Mereka menciptakan pencitraan baru untuk organisasi. Pola-pola bisnis di dunia hitam perlahan berubah bentuk menjadi kejahatan kerah biru. Tato dan ritual-ritual kuno tak lagi relevan, kesetiaan ditandai dengan kontribusi dan inovasi anggota. Yubitsume sebagai bentuk keterikatan dengan organisasi yang diwariskan turun-temurun perlahan sirna, menandai dinamika baru organisasi yang lebih egaliter dan terbuka.

Setiap fase mempunyai masa intermediasi tersendiri. Panjang atau pendek masa itu tergantung dari tingkat kelembamam dan ketangkasan pemimpinnya. Tingkat kelembamam itu bergantung dari pengetahuan dan pengalaman yang membentuk pola pikirnya. Seberapa terbuka dan seberapa tangkas menghadapi geliat perubahan, atau memutuskan berhenti bergerak dan tegak berdiri di tubir jurang perubahan.

Sebagaimana petuah bijak dari Nathanael Braden, “Langkah pertama menuju perubahan adalah kesadaran. Langkah kedua adalah penerimaan.” [Ed][Rz]


Artikel ini sebelumnya telah tayang di majalah IntaxDJP edisi Januari 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^