Selasa, 23 September 2014

Prompt #63 : Si Manis

Sumber

Sejak Bapak membawa binatang itu ke rumah aku sudah merasa tak nyaman. Rasanya seperti ada aura mistis yang melingkupi binatang itu. Sesuatu yang membuatku bergidik tiap kali bersirobok mata. Kilatan hijau yang penuh misteri, seperti kilau batu kecubung berwarna  toska. Dalam dan dingin. Magis.

“Kucing itu binatang kesayangan Kanjeng Rasul, Nduk. Siapa tahu kita ketiban barokah memeliharanya. Syukurlah Kyai Rasyid memberikan kucing ini sebagai wasiat kepada Bapak, sebentar lagi semua keinginan Bapak pasti terkabul,” sabda bapak suatu sore. Tangannya mengelus-elus bulu oranye binatang itu. Tubuhnya bergelung di pangkuan Bapak. Dengkurnya halus terdengar di sela-sela helaan napas Bapak yang serak, tergerus rokok ratusan batang menahun.

Rasanya iri sekali. Seumur hidup bahkan belum pernah sekalipun aku dibelainya. Belaian terakhir yang kurasakan adalah belaian dari Ibu, belasan tahun yang lalu. Semenjak kepergian ibu lalu sedih tiada henti menggayuti hariku. Sedih karena melihat kemusyrikan Bapak semakin menjadi-jadi. Sedih karena semakin gelap mata duniawi. Segala cara dilakukannya dengan berbagai ritual tak masuk akal. Ke laut, ke gunung, ke dukun, entah kemana lagi. Terakhir kali Bapak bilang sudah tobat dan pergi ke Kyai, tapi kembali dengan membawa seekor kucing yang katanya sakti.

“Lo, kok malah ngelamun? Itu makanan buat si Manis apa sudah disiapkan? Kalau kita memuliakan kucing ini, dia akan semakin bertuah, Nduk … akan semakin kaya kita nanti …."
Buru-buru aku menyelinap ke dapur, sebelum kupingku memerah karena mendengarkan ceramah Bapak tentang kesaktian kucing itu. Lupakah Bapak bahwa yang membuatnya kaya selama ini adalah kegigihan istrinya dalam mencari nafkah? Lupakah Bapak bahwa yang memberinya rezeki selama ini adalah Dzat yang memberinya nyawa setiap hari? Nyawa yang disia-siakannya dan tak pernah diisinya dengan hal-hal yang berguna....

“Grrr…,” geraman binatang itu sontak menyentakku dari lamunan. Ia menatapku lurus dengan mata hijaunya. Oh, tidak! Apa yang sudah kulakukan? Mungkin ia marah karena aku salah membeli ayam cemani yang tidak sesuai syarat dari Bapak. Aku memang sengaja membeli ayam cemani tiren sehingga lebih murah, karena kupikir takkan jadi masalah bagi seekor kucing. Rupanya aku salah. Geramannya semakin garang dan dia seakan siap menerkam.

“Ssst…kucing manis, sini makan ayam ini ya…jangan marah, besok kalau ada uang kubelikan ayam cemani segar untukmu…,”bujukku manis. Sudah setengah gila rupanya aku bicara dengannya. Setengah gila karena pengaruh Bapak, rutukku dalam hati. Siasatku berhasil. Binatang itu seperti bisa membaca sinyal perdamaian dariku. Hidungnya mengendus-endus lalu menerjang potongan ayam tanpa ragu. Melihatnya makan dengan lahap menerbitkan liur di bibirku. Pantas sudah masuk waktu makan siang. Terlambat sedikit menghidangkan pasti Bapak akan mengomel panjang kali lebar. Kuasah pisau dengan tergesa dan kusiapkan bumbu-bumbu yang akan dihaluskan.

* * *

Sejam kemudian….

“Nduk, kamu ndak ikut makan?”

“Sudah Pak, tadi di belakang.” Kulirik hidangan di meja Bapak. Semur daging yang sempurna.

Upss! Hampir saja mataku silap melewatkan sehelai bulu oranye di atas daging semur. Rupanya tadi aku kurang bersih mengulitinya. Sepertinya harus segera kubereskan sebelum Bapak menyadarinya….

Jumlah kata : 470 kata

14 komentar:

  1. Balasan
    1. matur suwun Pak, eh, gak terlalu sadis kan? :)

      Hapus
  2. seriusan... aku jauh lebih kasihan sama kucingnya x'(

    BalasHapus
  3. Waaaa.... semur kuciinggg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, mbak :) Semoga g ilfil ya kalau liat semur....

      Hapus
  4. huwahhh...semur kucing -__-"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Orin, trims sudah mampir :) Senang didatangi penulis pujaan hohoho

      Hapus
  5. Balasan
    1. Iya, memang psycho karena sering dalam tekanan kayaknya

      Hapus
  6. iya, kasihan kucingnya. emang dia salah apa? hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak salah kok, yg masak semur aja yang lagi error *kasihtisu

      Hapus
  7. nice...

    napas ya Mbak, bukan nafas :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks mbak Carra...kuedit ya... Thanks for all yg sudah singgah. Ajari saya lebih banyak yaaa :)

      Hapus

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^