Rabu, 10 September 2014

Prompt Quiz #5 : Langit Karamel

The Burning Giraffe by Salvador Dali
Hawa gersang menyerang. A Ling berkali-kali menggebrak kipas angin tua yang mati-nyala karena tak kuasa melawan usia. Babahnya terkantuk-kantuk di belakang etalase menanti pengunjung yang semakin jarang datang. Bukan karena musim kemarau yang mendera hingga orang malas datang ke tokonya, toh satu-dua peminat tetap rajin berkunjung secara berkala. Hanya saja di zaman yang disebut krismon oleh Babah itu, barang antik bukanlah prioritas untuk dibeli. Bahkan, kata mamah, tak ada yang prioritas dibeli karena jarang ada uang terkumpul untuk makan setiap hari. A Ling hanya bisa mengangguk-angguk tak sepenuhnya mengerti. Tangannya sibuk menyejajarkan boneka-boneka jerapahnya. Jarang makan tak apa yang penting masih bisa main.

Hari itu diingatnya langit sewarna karamel cair. Jalanan pucat berdebu lama tak tersentuh air. Babah masih tekun berkutat dengan barang barunya yang kuno, pesawat telepon antik dengan bentuk kotak yang aneh. Dunia A Ling masih sedamai kemarin, hingga tiba-tiba….

Praaanggg! Lalu...buk!!

Teriakan mamah menggema. A Ling tak berani keluar kamarnya. Dia berlari dan sembunyi di dalam lemari. Lututnya gemetar dan napasnya memburu tiada henti. Dia ingin menangis tapi ditahannya sendiri. Dia berusaha memahami apa yang dilihatnya tadi.

Dia melihat gerombolan setan dengan wujud manusia melumpuhkan babah, menyeret mamah dan mencabiknya di antara kabel telepon dan asap. Oh ya ada asap! A Ling melupakan boneka-boneka jerapahnya yang mengepulkan asap. Juga semua barang yang ada di rumahnya. Juga semua kenangan-kenangannya. Gerombolan itu mulai memasuki kamar dan menjarah semua yang bisa dijarah. Tinggal sejengkal lagi menuju lemari. A Ling mengeratkan pelukan di lututnya.

* * *

16 Tahun Kemudian, Mei 2014.

Seorang wanita muda melangkahkan kaki menuju podium. Kilatan blitz dan tepuk tangan memenuhi ruangan. Suasana riuh hening seketika saat wanita itu berkata :

“Saya mendedikasikan penghargaan ini kepada semua korban yang pernah menjalani hari-hari seperti saya. Hari-hari yang kelam dan kelabu. Yang membuat kami terpuruk dan merasa terhina. Tapi ada satu titik balik dalam hidup saya, yang membuat saya bangkit dan memutuskan untuk membaktikan hidup saya bagi negeri ini. Negeri yang dulu pernah membuat keluarga saya hancur dan tercerai-berai. Satu titik dimana ibu saya mengingatkan bahwa tidak ada yang dapat menjadikan saya seorang pribumi kecuali bukti dan bakti cinta pada negeri. Dan bahwa nasionalisme bukanlah ditandai dengan bentuk fisik atau ras tertentu, selama kita meyakini bahwa tidak ada yang dapat menghalangi kecintaan kita pada negeri ini. Tidak dendam sekalipun. Maka saya memilih untuk memenangkan rasa damai bagi hidup saya, dan mengizinkan saya mengubur masa lalu yang kejam di bawah kaki saya….”

Semua hadirin tunduk tersedu mendengarkan A Ling.


Jumlah kata : 407 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^