Rabu, 27 November 2013

(BERANICERITA #37)MENCARI AKAR



Lastri mengetuk pintu dengan masygul. Didekapnya erat bungkusan kotak dengan tangan kirinya. Hatinya resah menunggu pintu ruangan pemilik pabrik dibuka.
“Silakan masuk…Nak Lastri, benar?” seorang bapak tua berkata sambil menyilakan duduk.
“Iya Pak, saya yang tempo hari menelepon,” Lastri menjawab dengan nada tak sabar. Tangannya menyodorkan kotak yang dibungkus rapi di atas meja. Bapak tua membuka isi kotaknya perlahan.
“Jadi kamu jauh-jauh datang dari Jakarta semata-mata untuk ini? Pabrik sarung di kota ini sangat banyak. Kenapa kamu bisa yakin sarung ini dibuat di sini?”
“Seperti yang sudah saya ceritakan sekilas kemarin, pengurus di panti asuhan saya bilang kalau ibu kandung saya pernah bilang bekerja di daerah sini. Dan menurut informasi yang telah saya kumpulkan, pabrik sarung yang puluhan tahun masih ada di daerah sini hanya pabrik Bapak. Apalagi tadi saya sempat melihat-lihat kalau sistem produksi di sini masih semi manual dan pekerjanya juga sudah banyak yang berumur. Berarti seharusnya mudah bagi Bapak untuk membantu saya menemukan ibu saya…,” Lastri bertanya dengan nada meninggi. Tangannya meremas-remas kain roknya.
Bapak tua menghela nafas lalu bergegas ke pantry membuatkan kopi. Bau kopi yang menyengat memenuhi seluruh ruangan.
“Diminum dulu Nak. Biar agak rileks.” Lastri menurut. Dihirupnya kopi pelan-pelan.
“Bulan depan saya akan menikah Pak. Penting sekali bagi saya untuk menemukan akar saya, siapa ibu saya dan siapa bapak saya. Seumur hidup saya merasa ditelantarkan. Kenapa saya mesti dilahirkan kalau hanya untuk dibuang? Saya merasa perlu mencari jawaban dan jawaban itu saya yakin bisa ketemu dengan petunjuk sarung ini,” Lastri setengah terisak. Dia menyeruput kopinya lagi.
“Hmm…jarang sekali memang ada orang yang membungkus bayi dengan sarung, biasanya dengan jarit atau dengan selimut bayi. Mungkin ibumu memang ingin kamu mencarinya Nak,” bapak tua menenangkan Lastri.
“Mungkin saya bisa membantu Nak, mungkin juga tidak. Coba kamu tanya ke Pak Harso, kepala bagian arsip pegawai. Ruangannya ada di gedung sebelah ruang produksi. Siapa tahu kamu menemukan petunjuk di sana. Semoga kamu berhasil dan selamat atas pernikahanmu…,” bapak tua itu memberi petunjuk.
Senyum mulai mengembang dari bibir Lastri. Diucapkannya terima kasih berkali-kali kepada bapak pemilik perusahaan. Diciumnya tangan bapak tua itu dengan takzim sambil meminta doa agar usahanya lancar. Lastri bergegas menemui Pak Harso dengan seribu tanda tanya.
* * *
Bapak tua merapikan cangkir bekas kopi yang terhidang di meja sambil berurai air mata. Dicucinya bersih cangkir, sendok, dan piring kecil sebagai alas cangkir agar tak menimbulkan jejak. Tak lupa dibuangnya sarung yang ada di meja, kotak pembungkus, dan sebungkus arsenik yang disembunyikannya di bawah toples kopi.
“Maafkan bapakmu ini, Lastri. Bapak hanya tak ingin aib masa lalu Bapak terbongkar. Wajahmu mirip benar dengan ibumu, wanita yang dulu kuhamili dan bunuh diri setelah membuangmu dua puluh tujuh tahun yang lalu. Bapak tak sanggup menghadapi kenyataan pahit dan tak sanggup kehilangan nama baik di depan keluarga besar. Mungkin memang harus berakhir begini…,” Pak tua membatin. Tangannya membawa bungkusan berisi semua barang bukti yang hendak dibuangnya ke tempat pembakaran di belakang pabrik.
* * *
Jumlah kata : 487 kata







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^