“Pelangi di matamu, membuatku tak pernah lelah tuk merindu.
Membuatku tak pernah lelah mendengar ceritamu.
Membuatku tak pernah lelah menunggumu.
Tapi kini, pelangi itu tak ada lagi.
Hilang ditelan badai, ketika lelakimu mengatakan tak mencintaimu lagi.”
Sumber |
Hampir sejam aku menunggu di
sudut kafe ini, namun bayanganmu tak juga hadir. Mungkin rintik hujan
menghalangimu atau memang kau tak ingin bertemu denganku. Kusesap habis black espresso dalam cangkir,
sekedar mengurangi efek jet lag dan
menghangatkan badan. Udara dingin menyeruak di luar. Hampir saja kuputuskan untuk
menjemputmu ke rumah namun urung saat kulihat sekelebat sosokmu berdiri di depan pintu.
“Lalaaa!”
Kau menoleh dan berjalan
menuju mejaku, tentu saja setelah memesan secangkir Vanilla Latte kesukaanmu.
“Kenapa mesti ketemuan di sini
sih? Di rumah aja bisa ‘kan?”
“Nanti ibumu tahu pembicaraan
kita….”
“Apa yang mau disembunyikan
coba?” bibirmu mengerut, membuatku gemas.
“Aku tahu kamu tak suka di sini.
Tapi aku selalu suka. Ingat tidak waktu dulu….”
“Sudah, yang dulu gak usah
dibahas. Lagipula, aku sudah dewasa sekarang, bukan gadis lagi. Aku wanita
dewasa!”
“Yah…wanita dewasa yang masih
juga patah hati,” aku terkekeh.
Ups! Wajahmu mendadak keruh. Ah,
rupanya aku salah strategi.
Kucoba menjelaskan, “Ibumu
menelepon, katanya terjadi lagi, drama seperti lima tahun lalu. Kali ini
sepertinya lebih parah, berhari-hari kamu tidak mau makan, dan….”
“Gak usah jadi pahlawan
kesiangan,” potongmu.
“Kamu tahu ‘kan, selalu ada
tempat buatmu curhat…,”aku terus berusaha.
“Aku bisa mengatasinya. Lala akan
cepat pulih, percaya deh. Dan drama mogok makan itu…biar badanku cepat kurus.
Itu aja.”
Pesananmu tiba. Wanginya menguar
seketika.
“Benarkah tak ada yang ingin kau ceritakan?
Jujur aku merasa menyesal sering meninggalkanmu karena pekerjaan, seandainya
aku bisa memilih….”
“Kenapa baru sekarang ngerasa?
Waktu dulu patah hati, aku bisa mengatasinya sendiri. Sekarangpun aku yakin,
seiring berjalannya waktu, di balik ujian ini akan ada hikmah bagiku.”
Aku tersenyum bangga. Ini baru
gadisku.
Saatnya memberi kejutan....
Saatnya memberi kejutan....
“Patah hatimu kali ini akan kita
lalui bersama. Aku ingin menebus kesalahanku selama ini dan menjadi bahu tempatmu
bersandar, selain ibumu tentu….”
Terbit secercah sinar di matamu.
“Benarkah? Berarti mutasi ke
Indonesia?”
Aku mengangguk. “Eh, ini kejutan
ya, jangan bilang ibumu dulu.”
Kau mengangguk.
“Ehmm, tahu gak kenapa namamu
Bianglala?” iseng aku bertanya.
Kau menggeleng.
“Karena bagi kami, senyummu
seperti sebuah hadiah setelah badai tiba….”
Alismu berkerut, “Pelangi…bianglala!”
Lalu kita terbahak-bahak, membuat
semua pengunjung menoleh. Biar saja.
“Ayah, terima kasih ya, patah
hatiku kali ini sepertinya akan segera terobati.”
Ah, gadisku, senyummu begitu
manis, seperti senyum ibumu.
Jumlah kata : 400 kata
Notes : FF ini pengembangan dari
puisi Maya Indah di sini.
mbak, susunan paragraf nya menurutku mengganggu ya.
BalasHapusistilah e ndlujur, tanpa ada sela nya.
selebihnya, juaraaaaaaaaa
Inggih mas. Kemarin sudah saya otak-atik tapi belum berhasil. Akan saya coba lagi nanti. Suwun nggih sudah mampir n komen :)
Hapusohh,,, ketemu bapaknya ternyata ... :)
BalasHapusIyaaa, trims yaa sudah singgah n komeng Bang :)
Hapus