Rabu, 13 Januari 2016

Tes Sidik Jari untuk Anak, Perlu Gak, Sih?

Saya mau sharing sedikit nih tentang Tes Sidik Jari (Fingerprint Test/FT) yang saya ketahui dan pernah lakukan. FT yang pertama yaitu tes terkait Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk) dan yang kedua yaitu tes terkait kecenderungan perilaku motivasi. Nah, sebelum kita bahas satu-satu, saya kasih informasi sedikit tentang keunikan sidik jari ini, ya.

Di dalam Buku Harun Yahya yang berjudul Indahnya Islam Kita, terdapat salah satu bab yang mengulas tentang Keajaiban Al-Quran dan memaparkan tentang penjelasan ayat dalam Quran Surat Al-Qiyamah: 3-4 yang diterjemahkan sebagai berikut: "Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna." Ayat ini memberikan dalil bahwa mudah bagi Allah SWT untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya (merujuk pada peristiwa hari kiamat) dan mengindikasikan jari-jari manusia dijadikan Allah SWT untuk mengindentifikasi tubuh manusia yang telah hancur di tanah kubur.

Bagi kita yang hidup di zaman modern, pesan tentang sidik jari yang dibawa Al-Quran pada abad ke-7 M ini sangat mudah kita terima. Padahal, di masa lampau sidik jari ini bukanlah sebuah hal yang istimewa karena baru ditemukan di akhir abad ke-19 M. Sejak itu, berkembanglah ilmu yang mempelajari tentang sidik jari, yaitu Dermatoglyphics dan Daktiloskopi. Ilmu ini digunakan bukan hanya untuk pengembangan di bidang forensik dan sejarah, tetapi juga dalam bidang psikologi dan pengembangan kepribadian. 

Para peneliti menemukan epidermal ridge (garis-garis pada permukaan kulit, jari-jari, telapak tangan, hingga kaki) memiliki hubungan yang bersifat ilmiah dengan kode genetik dari sel otak dan potensi inteligensi seseorang. Pola yang dibentuk oleh garis-garis itu ternyata memiliki korelasi dengan sistem hormon pertumbuhan sel pada otak. Teori-teori mengenai struktur otak yang diungkap para ahli beberapa dekade kemudian telah memberikan informasi yang dapat menjadikan interpretasi karakter dan potensi bakat seseorang secara genotif (diturunkan dari induk). Sidik jari bersifat permanen, unik, dan tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, tes analisa sidik jari bersifat objektif tanpa dipengaruhi unsur kondisi fisik atau psikologis.

Tes analisa sidik jari ini dapat dilakukan secara kasat mata oleh pakar di bidangnya atau dapat pula menggunakan sebuah alat khusus pembaca sidik jari (Fingerprint Reader/FR) yang dihubungkan ke sebuah komputer bersoftware khusus yang dapat melakukan analisa berdasarkan titik-titik yang menjadi acuan.

Nah, tes analisa yang kedua inilah yang pernah saya lakukan. Saya pernah melakukan FT untuk mengetahui Multiple Intelligence (MI) untuk diri saya sendiri, dan saya juga pernah melakukan FT untuk mengetahui kecenderungan perilaku motivasi untuk putri saya, Zukhrufa, ketika dia berumur sekitar tiga tahun.

MULTIPLE INTELLIGENCE
 
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh pakar pendidikan dari Universitas Havard, yaitu Howard Gardner. Dalam bukunya yang berjudul Frame of Mind: The Theory of multiple Intelligences (1985), Gardner membagi kecerdasan anak menjadi delapan jenis, yaitu word smart (kecerdasan linguistik), number smart (kecerdasan logika atau matematis), self smart  (kecerdasan intrapersonal), people smart (kecerdasan interpersonal), musik smart (kecerdasan musikal), picture smart (kecerdasan spasial), body smart (kecerdasan kinetik), dan nature smart (kecerdasan naturalis). Seiring dengan perkembangan zaman, teori ini menambahkan satu jenis kecerdasan lagi yaitu kecerdasan eksistensial (kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan -persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia). Jenis kecerdasan ini bisa bertambah terus, sepanjang syarat yang diajukan dalam teori Gardner terpenuhi.

Teori ini mematahkan Kecerdasan Intelektual (IQ) sebagai kecerdasan tunggal yang telah memonopoli teori kecerdasan. Sebelum teori ini ditemukan, kecerdasan seseorang hanya diukur lewat hasil tes inteligensi yang bersifat logis-matematis, kuantitatif, dan linear. Akibatnya, sisi-sisi kecerdasan manusia yang lainnya terabaikan. Teori ini mengungkapkan bahwa tidak ada anak yang bodoh, setiap anak terlahir dengan berbagai macam kecerdasan dan keunikan masing-masing, dan dapat menentukan keberhasilan anak di masa depan tergantung sejauh mana orang tua mampu mengenali, menggali, dan mengoptimalkan kemampuan itu sesuai minat dan bakatnya.

Dalam ilmu pendidikan anak, dijelaskan bahwa bakat merupakan kemampuan yang melekat pada diri seseorang (bawaan) sejak lahir dan terkait dengan struktur otaknya. Menurut penelitian, bakat peserta didik 60% berasal dari orang tuanya, sedangkan selebihnya dari lingkungan. Sedangkan kecerdasan merupakan hasil perkembangan semua fungsi otak manusia sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Tingkat intelektual anak berbakat biasanya cenderung di atas rata-rata, namun peserta didik yang mempunyai intelektual tinggi tidak selalu menunjukan anak yang berbakat. Kesimpulannya, kecerdasan dan bakat ini tidak selalu berkorelasi positif, dan keduanya merupakan hasil kombinasi antara sifat genotif (bawaan) dan rangsangan dari lingkungan (fenotif). Makanya, dalam kehidupan nyata ada musisi, misalnya, yang mempunyai kecerdasan matematika yang tinggi, ada pula yang tidak.

Nah, tujuan saya melakukan FT terkait MI ini awalnya untuk mengetahui potensi kecerdasan dan bakat Zukhrufa (Zufa) secara genotif. Sayangnya pada saat tes itu akan dilakukan, Zufa yang waktu itu masih belum genap dua tahun tiba-tiba menolak untuk melakukan tes. Daripada penasaran, akhirnya saya mencoba tes menggunakan mesin scanner ini. Hasilnya bisa ditebak, nilai tes saya cukup tinggi hampir di semua kecerdasan kecuali kecerdasan intrapersonal (ketahuan, kan, saya memang kurang self-contemplation). Hal yang membuat saya kaget adalah nilai kecerdasan yang paling lumayan ada di kecerdasan matematis, padahal dalam kenyataannya saya sangat alergi dengan pelajaran yang satu ini, bahkan saya pernah dapat nilai enam di Ujian Akhir Nasional! (Omo!)

Sempat nyesel juga, sih. Coba orang tua saya dulu kenal tes beginian, mungkin saya akan lebih termotivasi untuk belajar matematika, karena saya tahu lebih dulu potensi kecerdasan diri saya. Tapi waktu tidak bisa diputar mundur, ya. Saya harus jadi orang tua yang lebih baik, yang mau serius menggali potensi anak-anaknya (iya, jangan gali potensi Wajib Pajak terus, dwoong!!).

Salah satu hal yang perlu digarisbawahi dari FT berbasis MI ini adalah hasil nilai dan analisanya hanya berlaku untuk subjek yang dites dan tidak bisa dijadikan pembanding dengan subjek lainnya. Maksudnya, misalkan anak kita mendapat nilai 8 untuk kecerdasan matematikanya, dan anak teman kita juga mendapat nilai 8, maka kedua nilai itu tidak sepadan. Bisa jadi nilai 8 anak teman kita sama dengan nilai 4 anak kita, demikian pula sebaliknya. Nilai 8 pada kecerdasan itu adalah pembanding bagi nilai kecerdasan lainnya pada satu subjek, bukan untuk dibandingkan dengan subjek lainnya.

Nah, setelah saya dapat referensi lainnya, selain potensi kecerdasan dan bakat, ternyata minat seseorang bisa jadi sangat menentukan keberhasilannya di masa depan. Meskipun seorang anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang banyak dan di atas rata-rata, tetap saja minatnya lah yang menentukan ke arah manakah dia akan mengoptimalkan usahanya untuk menjadi ahli di satu bidang yang disukainya, alih-alih menjadi ahli di semua bidang (yang nampaknya mustahil terjadi). Nah, di sinilah peran besar orang tua setelah mengenali dan menggali potensi anak-anaknya, untuk kemudian mengarahkan dan memberikan fasilitas, motivasi, dan dorongan positif bagi minat anak tersebut.

Inilah tipe orang tua idaman di mata saya, orang tua yang selalu menjadi “rumah” tempat anak-anaknya selalu “kembali” dan bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa beban dan kekhawatiran untuk dibanding-bandingkan. Inilah visi saya di masa depan, yang sedikit demi sedikit ingin saya wujudkan.

Zufa dan Zufi sedang asyik main :)

Nah, selanjutnya saya akan menulis tentang FT terkait kecenderungan perilaku motivasi berdasarkan Teori Otak Triune yang pernah dicoba oleh Zufa. Tapi nanti, ya, nunggu saya agak luang. Selain itu saya akan mengulas tentang tipe-tipe pengasuhan orang tua dan tentang cara-cara kreatif yang diperlukan otak agar memudahkan belajar si Kecil (teasernya mangstap, kan?)

Silakan stay tune di blog saya sambil jalan-jalan, atau boleh juga main ke referensi berikut ini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^