Lo, katanya kemarin mau nulis artikel tentang Amnesti Pajak (AP), kok yang dirilis malah artikel ini? Tenang, saya tetap akan menulis tentang itu tapi nanti dulu, sebab saya melihat di lapangan banyak sekali Wajib Pajak yang ingin melakukan pelaporan (atau pembetulan) SPT Tahunan 2015 ke belakang tetapi tidak tahu caranya. Sebagian besar dari mereka datang dengan kepanikan akibat informasi yang salah, jadi melalui artikel ini saya ingin mencoba memberikan informasi yang saya anggap relevan terkait hal terebut.
Saya tidak tahu dari mana awal mula bisa terjadi, banyak sekali Wajib Pajak (WP) yang buru-buru ingin melaporkan (atau membetulkan) SPT Tahunan 2015 ke belakang, bahkan ada yang bertanya, “paling lambat tanggal 30 September, ya Bu?” Saya yang ditanya tentu saja bingung. Setahu saya, tanggal itu adalah batas akhir pengenaan tarif untuk menghitung uang tebusan AP periode pertama. Jadi harusnya yang panik ingin memasukkan SPT Tahunan 2015 itu adalah Wajib Pajak yang ingin mengikuti program AP dengan tarif terendah (2%), itupun hanya bila WP belum melaporkan SPT Tahunan 2015 dan bukan WP baru. Dalam hal WP itu tidak mengikuti program AP, maka akan melaksanakan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) dimana WP boleh melakukan pembetulan SPT kapan saja selama:
1. Terhadap SPT yang akan dibetulkan tersebut belum dilakukan tindakan pemeriksaan, tindakan verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, dan tindakan pemeriksaan bukti permulaan terbuka.
2. Khusus untuk SPT pembetulan yang menyatakan lebih bayar atau rugi, pembetulan SPT dapat dilakukan paling lambat dua tahun sebelum daluarsa penetapan.
Ini dalam hal pembetulan lo, dalam hal WP belum menyampaikan SPT Tahunan 2015 sama sekali namanya bukan pembetulan SPT tapi pelaporan yang terlambat. Jadi sebenarnya tidak perlu panik.
Atas keterlambatan pelaporan SPT Tahunan ini, akan dikenakan sanksi bagi WP Orang Pribadi sebesar Rp100.000,- dan sanksi bagi WP Badan sebesar Rp1.000.000,-. Denda ini berlaku sekali saja, dan dibayar nanti ketika ada Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh KPP. Selama belum terbit STP ya tidak ada yg perlu dibayar. Jadi tidak perlu khawatir, sebab bila WP hanya melakukan pembetulan atas SPT Tahunan yang sudah dilaporkan tidak akan dikenai sanksi keterlambatan sepanjang tidak ada pajak yang memang harus dibayar. Lain halnya bila pembetulan itu memang menyebabkan kurang bayar, maka akan ada sanksi bunga atas keterlambatan bayar itu. Bayarnya kalau sudah ditagih ya. Dan bayarnya ke bank, bukan ke KPP. Tapi kalau hanya pembetulan harta, sepanjang semua penghasilan WP sudah dikenakan pajak sesuai aturan ya tidak ada sanksi apapun.
Nah, sekarang kita menuju inti dari tulisan ini. Cara melakukan pembetulan SPT Tahunan (contoh SPT Tahunan 2015) sebagai berikut:
1. Pastikan Tahun 2015 sudah lapor SPT dan ada dalam Sistem Informasi DJP. Ini penting sebab ada beberapa WP yang melapor melalui pos atau jasa kurir namun karena satu dan lain hal belum masuk ke dalam sistem. Pembetulan SPT tidak akan bisa diproses sepanjang SPT status normalnya belum diterima.
2. Silakan mengisi SPT dengan menggunakan formulir yang sama dengan ketika melapor sebelumnya. Dimungkinkan menggunakan formulir yang berbeda apabila memang diperlukan. Contoh kasus, misalnya ada pensiunan pns yang sebelumnya menggunakan fomulir pelaporan 1770 SS melakukan pembetulan menggunakan formulir 1770 sebab di tahun 2015 belum melaporkan PPh Final atas penyewaan rumahnya atau penjualan tanahnya, dsb.
3. Dalam hal pembetulan dilakukan secara manual (formulir kertas) maka silakan melampirkan salinan SPT normalnya dan meminta checklist kelengkapan pada peneliti SPT di KPP dan memasukkan SPT ke petugas penerima SPT di KPP untuk mendapatkan Bukti Penerimaan SPT.
4. Dalam hal SPT sebelumnya dilaporkan secara elektronik maka pembetulan akan dilakukan secara elektronik.
Begini caranya: Bagi WP OP yang ingin melakukan pembetulan elektronik silakan:
- membuka laman www.djponline.pajak.go.id dan login;
- masuk ke menu efiling, klik icon “Buat SPT”;
- menjawab pertanyaan yang diajukan;
- apabila sudah diketahui akan menggunakan formulir apa maka silakan mengisi tahun pajak dan pembetulan ke berapa;
- otomatis masuk ke formulir elektronik yang sudah berisi data SPT normalnya;
- edit atau tambahkan yang ingin dibetulkan. Misalnya bagian harta dan hutang. Lalu submit seperti pada proses normal.
5. SPT pembetulan atau SPT dengan status terlambat lapor ditujukan ke KPP tempat terdaftar, bukan ke KPP lainnya, meski misalnya dulu WP karyawan lapor kolektif ke KPP dekat tempat kerjanya.
Cukup jelas, ya. Sebenarnya saya cukup mengerti kenapa WP panik, sebab ada pasal dalam UU Amnesti Pajak yang menyebutkan bahwa:
1. Wajib Pajak yang telah mengikuti program Amnesti Pajak namun ditemukan adanya data mengenai Harta bersih yang kurang diungkapkan maka atas Harta dimaksud diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak sesuai dengan UU PPh dan ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.
2. Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Amnesti Pajak namun ditemukan adanya data mengenai Harta bersih yang tidak dilaporkan maka atas Harta dimaksud diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak serta sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Itupun ada klausul paling lama tiga tahun terhitung sejak UU AP ini mulai berlaku.
Masalahnya, di lapangan WP suka menyebut kalau sanksi 200% itu adalah sanksi bagi WP yang belum melaporkan hartanya dan tidak ikut AP. Opini ini cukup membuat panik, padahal sebenarnya tidak demikian.
Apalagi pasca terbitnya PER-11/PJ/2016, masih ada saja WP yang menanyakan tentang AP adalah sebuah pilihan. Padahal di PER tersebut sudah jelas mana saja yang subjek dan objek AP dan mana yang bukan. Sehingga dimungkinkan bagi WP untuk melakukan pelaporan terlambat atau pembetulan SPT dalam hal dia tidak ingin mengikuti AP, tentu saja dengan konsekuensi yang harus siap ditanggung. Apa sih itu? Selama WP tidak mengikuti AP, maka pelaporan atau pembetulannya belum inkracht (mempunyai ketetapan hukum yang tetap) sehingga masih dimungkinkan dilakukan klarifikasi data, pemeriksaan, dsb. Tetapi sepanjang WP mempunyai bukti yang kuat bahwa dia telah memenuhi semua kewajiban perpajakannya dan harta yang dilaporkan melalui pembetulan tersebut berasal dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak semuanya ya tidak perlu risau.
Pembetulan ini juga sebaiknya tidak dilakukan untuk SPT Tahunan 2015 saja, sebab dalam hal tidak ikut AP kan WP masih harus memperbaiki SPT sesuai tahun perolehan harta, agar fiskus dapat melakukan analisis tingkat perbandingan antara penghasilan yang diterima dengan nilai aset pada saat diperoleh, sudah wajar atau belum. Apabila belum tentu saja akan dilakukan klarifikasi data. Dalam hal ini, WP tidak perlu takut, cukup menjelaskan dengan menyertakan bukti yang ada. Agar lebih jelas silakan langsung konsultasi dengan Account Representative di KPP terdaftar.
Beda sekali perlakuannya dengan bila memilih AP, WP tidak akan dilihat lagi kesalahannya di masa lalu. Ibaratnya ini jalan tol yang mulus menuju lembaran baru dengan DJP. Bayar uang tebusan sih, tapi tidak perlu lagi takut diperiksa. Yang satunya lagi jalan umum yang macet dan berliku, tapi selama WP telah memenuhi kewajibannya seharusnya tidak akan ada masalah.
Soal Subjek AP ini sudah jelas, yaitu WP yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan. Siapakah itu? Ya yang sudah punya NPWP. Sebab kewajiban lapor SPT itu menempel ke kepemilikan NPWP, bukan karena punya penghasilan atau tidak. Sebab sering sekali saya menemui kasus banyak WP yang tidak melapor sebab sudah resign dari pekerjaan tetapnya atau karena merasa sudah dipotong pajaknya oleh kantor. Inilah hal yang harusnya diperbaiki.
Di PER-11/PJ/2016 juga disebutkan bahwa dalam hal WP OP berpenghasilan di bawah PTKP pada Tahun Pajak Terakhir dan Subjek Pajak Luar Negeri bukan termasuk Subjek AP, sehingga sanksi yang saya sebutkan di UU AP di atas tidak akan diterapkan. Jadi untuk yang penghasilannya di bawah PTKP pada Tahun 2015 tidak perlu khawatir, patokannya itu. Lha wong buat makan sehari-hari aja sulit dan aslinya memang tidak wajib punya NPWP, bagaimana mau membayar uang tebusan. Hanya saja kembali lagi, sepanjang WP itu punya NPWP ya tetap wajib lapor meskipun dengan status Nihil.
Soal warisan yang belum terbagi juga masih menjadi pertanyaan. Padahal jelas bahwa itu bukan Objek AP selama diterima oleh:
1. ahli waris yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak; atau
2. harta warisan sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan pewaris.
Justru banyak WP yang ingin mengikuti AP setelah tahu ada fasilitas pembebasan dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017. Sebagian besar mendeklarasi harta tambahan atas warisan berupa tanah dan/atau bangunan yang diterima dan belum dibalik nama sebab ingin mengajukan Surat Keterangan Bebas PPh. Mungkin mereka telah menghitung dan menyadari bahwa daripada membayar 2,5% dikalikan jumlah bruto nilai pengalihan, ternyata lebih menguntungkan membayar Uang Tebusan dengan tarif 2% dikalikan nilai wajar menurut WP pada 31 Desember 2015.
Dalam hal hibah juga ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. penerima hibah adalah keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat; dan
2. diterima oleh orang pribadi penerima hibah yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak; atau
3. harta hibahan sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pemberi hibah.
Jadi bila hibahnya dari kakek atau saudara lainnya, maka tetap sebagai Objek AP.
Masalahnya di sini, tidak dijelaskan baik di dalam PER-11/PJ/2016 maupun di lampirannya PTKP manakah yang digunakan. Dalam beberapa kesempatan di media massa dan press release Kementerian Keuangan, PTKP yang digunakan adalah PTKP 2016 yaitu sebesar Rp54 juta untuk status WP single tanpa tanggungan. Tetapi bisa juga fiskus menggunakan PTKP 2015 yaitu sebesar Rp36 juta. Hal ini masih menjadi pertanyaan di lapangan dan berpotensi terjadi dispute sehingga memerlukan penegasan lebih lanjut.
Wah, panjang juga ya bahasan kali ini. Semoga bisa memberikan sedikit pencerahan dan bisa meredam keresahan yang beredar. Dengan mengisi kolom harta dan utang dengan benar (yaitu sesuai kondisi per 31 Desember masa pajak yang dilaporkan) maka akan sangat membantu fiskus dalam melakukan pengawasan dan melakukan uji kepatuhan WP. Mengisi SPT dengan benar adalah langkah awal mencegah negara kita dari kemunduran pembangunan.
Semoga tulisan ini juga bisa membantu mengurangi beban kerja teman-teman di KPP dalam memberikan layanan konsultasi bagi WP. Tetap semangat dan jaga kesehatan ya, perjuangan kita masih panjang. Ingatlah bahwa bila kita letih melakukan kebaikan maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan itulah yang abadi.
Untuk informasi yang valid seputar Amnesti Pajak, silakan kunjungi laman resmi http://www.pajak.go.id/amnestipajak atau layanan telepon 1500745 atau KPP terdekat. Manfaatkan kesempatan yang ada sebelum periode pertama ini berakhir dengan sebaik-baiknya ya :)
Terima kasih sudah berkenan mampir, komen, dan membagikan informasi ini!
Baca juga: Cara bikin kode Billing pakai HP.
Next: Kenapa Sih Harus Lapor Harta di SPT Tahunan? dan Harta Apa Saja Sih yang Harus Dilaporkan di SPT Tahunan?
Catatan : Setelah tulisan ini diposting, pada tanggal 23 September 2016 Dirjen Pajak menerbitkan SE-43/PJ/2016 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Pelaksanaan PER-11/PJ/2016, yang menjelaskan bahwa PTKP yang dimaksud pada PER-11/PJ/2016 adalah sebesar Rp54 juta untuk status WP single tanpa tanggungan.
Saya tidak tahu dari mana awal mula bisa terjadi, banyak sekali Wajib Pajak (WP) yang buru-buru ingin melaporkan (atau membetulkan) SPT Tahunan 2015 ke belakang, bahkan ada yang bertanya, “paling lambat tanggal 30 September, ya Bu?” Saya yang ditanya tentu saja bingung. Setahu saya, tanggal itu adalah batas akhir pengenaan tarif untuk menghitung uang tebusan AP periode pertama. Jadi harusnya yang panik ingin memasukkan SPT Tahunan 2015 itu adalah Wajib Pajak yang ingin mengikuti program AP dengan tarif terendah (2%), itupun hanya bila WP belum melaporkan SPT Tahunan 2015 dan bukan WP baru. Dalam hal WP itu tidak mengikuti program AP, maka akan melaksanakan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) dimana WP boleh melakukan pembetulan SPT kapan saja selama:
1. Terhadap SPT yang akan dibetulkan tersebut belum dilakukan tindakan pemeriksaan, tindakan verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, dan tindakan pemeriksaan bukti permulaan terbuka.
2. Khusus untuk SPT pembetulan yang menyatakan lebih bayar atau rugi, pembetulan SPT dapat dilakukan paling lambat dua tahun sebelum daluarsa penetapan.
Ini dalam hal pembetulan lo, dalam hal WP belum menyampaikan SPT Tahunan 2015 sama sekali namanya bukan pembetulan SPT tapi pelaporan yang terlambat. Jadi sebenarnya tidak perlu panik.
Atas keterlambatan pelaporan SPT Tahunan ini, akan dikenakan sanksi bagi WP Orang Pribadi sebesar Rp100.000,- dan sanksi bagi WP Badan sebesar Rp1.000.000,-. Denda ini berlaku sekali saja, dan dibayar nanti ketika ada Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh KPP. Selama belum terbit STP ya tidak ada yg perlu dibayar. Jadi tidak perlu khawatir, sebab bila WP hanya melakukan pembetulan atas SPT Tahunan yang sudah dilaporkan tidak akan dikenai sanksi keterlambatan sepanjang tidak ada pajak yang memang harus dibayar. Lain halnya bila pembetulan itu memang menyebabkan kurang bayar, maka akan ada sanksi bunga atas keterlambatan bayar itu. Bayarnya kalau sudah ditagih ya. Dan bayarnya ke bank, bukan ke KPP. Tapi kalau hanya pembetulan harta, sepanjang semua penghasilan WP sudah dikenakan pajak sesuai aturan ya tidak ada sanksi apapun.
Nah, sekarang kita menuju inti dari tulisan ini. Cara melakukan pembetulan SPT Tahunan (contoh SPT Tahunan 2015) sebagai berikut:
1. Pastikan Tahun 2015 sudah lapor SPT dan ada dalam Sistem Informasi DJP. Ini penting sebab ada beberapa WP yang melapor melalui pos atau jasa kurir namun karena satu dan lain hal belum masuk ke dalam sistem. Pembetulan SPT tidak akan bisa diproses sepanjang SPT status normalnya belum diterima.
2. Silakan mengisi SPT dengan menggunakan formulir yang sama dengan ketika melapor sebelumnya. Dimungkinkan menggunakan formulir yang berbeda apabila memang diperlukan. Contoh kasus, misalnya ada pensiunan pns yang sebelumnya menggunakan fomulir pelaporan 1770 SS melakukan pembetulan menggunakan formulir 1770 sebab di tahun 2015 belum melaporkan PPh Final atas penyewaan rumahnya atau penjualan tanahnya, dsb.
3. Dalam hal pembetulan dilakukan secara manual (formulir kertas) maka silakan melampirkan salinan SPT normalnya dan meminta checklist kelengkapan pada peneliti SPT di KPP dan memasukkan SPT ke petugas penerima SPT di KPP untuk mendapatkan Bukti Penerimaan SPT.
4. Dalam hal SPT sebelumnya dilaporkan secara elektronik maka pembetulan akan dilakukan secara elektronik.
Begini caranya: Bagi WP OP yang ingin melakukan pembetulan elektronik silakan:
- membuka laman www.djponline.pajak.go.id dan login;
- masuk ke menu efiling, klik icon “Buat SPT”;
- menjawab pertanyaan yang diajukan;
- apabila sudah diketahui akan menggunakan formulir apa maka silakan mengisi tahun pajak dan pembetulan ke berapa;
- otomatis masuk ke formulir elektronik yang sudah berisi data SPT normalnya;
- edit atau tambahkan yang ingin dibetulkan. Misalnya bagian harta dan hutang. Lalu submit seperti pada proses normal.
5. SPT pembetulan atau SPT dengan status terlambat lapor ditujukan ke KPP tempat terdaftar, bukan ke KPP lainnya, meski misalnya dulu WP karyawan lapor kolektif ke KPP dekat tempat kerjanya.
Cukup jelas, ya. Sebenarnya saya cukup mengerti kenapa WP panik, sebab ada pasal dalam UU Amnesti Pajak yang menyebutkan bahwa:
1. Wajib Pajak yang telah mengikuti program Amnesti Pajak namun ditemukan adanya data mengenai Harta bersih yang kurang diungkapkan maka atas Harta dimaksud diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak sesuai dengan UU PPh dan ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.
2. Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Amnesti Pajak namun ditemukan adanya data mengenai Harta bersih yang tidak dilaporkan maka atas Harta dimaksud diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak serta sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Itupun ada klausul paling lama tiga tahun terhitung sejak UU AP ini mulai berlaku.
Masalahnya, di lapangan WP suka menyebut kalau sanksi 200% itu adalah sanksi bagi WP yang belum melaporkan hartanya dan tidak ikut AP. Opini ini cukup membuat panik, padahal sebenarnya tidak demikian.
Apalagi pasca terbitnya PER-11/PJ/2016, masih ada saja WP yang menanyakan tentang AP adalah sebuah pilihan. Padahal di PER tersebut sudah jelas mana saja yang subjek dan objek AP dan mana yang bukan. Sehingga dimungkinkan bagi WP untuk melakukan pelaporan terlambat atau pembetulan SPT dalam hal dia tidak ingin mengikuti AP, tentu saja dengan konsekuensi yang harus siap ditanggung. Apa sih itu? Selama WP tidak mengikuti AP, maka pelaporan atau pembetulannya belum inkracht (mempunyai ketetapan hukum yang tetap) sehingga masih dimungkinkan dilakukan klarifikasi data, pemeriksaan, dsb. Tetapi sepanjang WP mempunyai bukti yang kuat bahwa dia telah memenuhi semua kewajiban perpajakannya dan harta yang dilaporkan melalui pembetulan tersebut berasal dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak semuanya ya tidak perlu risau.
Pembetulan ini juga sebaiknya tidak dilakukan untuk SPT Tahunan 2015 saja, sebab dalam hal tidak ikut AP kan WP masih harus memperbaiki SPT sesuai tahun perolehan harta, agar fiskus dapat melakukan analisis tingkat perbandingan antara penghasilan yang diterima dengan nilai aset pada saat diperoleh, sudah wajar atau belum. Apabila belum tentu saja akan dilakukan klarifikasi data. Dalam hal ini, WP tidak perlu takut, cukup menjelaskan dengan menyertakan bukti yang ada. Agar lebih jelas silakan langsung konsultasi dengan Account Representative di KPP terdaftar.
Beda sekali perlakuannya dengan bila memilih AP, WP tidak akan dilihat lagi kesalahannya di masa lalu. Ibaratnya ini jalan tol yang mulus menuju lembaran baru dengan DJP. Bayar uang tebusan sih, tapi tidak perlu lagi takut diperiksa. Yang satunya lagi jalan umum yang macet dan berliku, tapi selama WP telah memenuhi kewajibannya seharusnya tidak akan ada masalah.
Soal Subjek AP ini sudah jelas, yaitu WP yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan. Siapakah itu? Ya yang sudah punya NPWP. Sebab kewajiban lapor SPT itu menempel ke kepemilikan NPWP, bukan karena punya penghasilan atau tidak. Sebab sering sekali saya menemui kasus banyak WP yang tidak melapor sebab sudah resign dari pekerjaan tetapnya atau karena merasa sudah dipotong pajaknya oleh kantor. Inilah hal yang harusnya diperbaiki.
Di PER-11/PJ/2016 juga disebutkan bahwa dalam hal WP OP berpenghasilan di bawah PTKP pada Tahun Pajak Terakhir dan Subjek Pajak Luar Negeri bukan termasuk Subjek AP, sehingga sanksi yang saya sebutkan di UU AP di atas tidak akan diterapkan. Jadi untuk yang penghasilannya di bawah PTKP pada Tahun 2015 tidak perlu khawatir, patokannya itu. Lha wong buat makan sehari-hari aja sulit dan aslinya memang tidak wajib punya NPWP, bagaimana mau membayar uang tebusan. Hanya saja kembali lagi, sepanjang WP itu punya NPWP ya tetap wajib lapor meskipun dengan status Nihil.
Soal warisan yang belum terbagi juga masih menjadi pertanyaan. Padahal jelas bahwa itu bukan Objek AP selama diterima oleh:
1. ahli waris yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak; atau
2. harta warisan sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan pewaris.
Justru banyak WP yang ingin mengikuti AP setelah tahu ada fasilitas pembebasan dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017. Sebagian besar mendeklarasi harta tambahan atas warisan berupa tanah dan/atau bangunan yang diterima dan belum dibalik nama sebab ingin mengajukan Surat Keterangan Bebas PPh. Mungkin mereka telah menghitung dan menyadari bahwa daripada membayar 2,5% dikalikan jumlah bruto nilai pengalihan, ternyata lebih menguntungkan membayar Uang Tebusan dengan tarif 2% dikalikan nilai wajar menurut WP pada 31 Desember 2015.
Dalam hal hibah juga ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. penerima hibah adalah keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat; dan
2. diterima oleh orang pribadi penerima hibah yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak; atau
3. harta hibahan sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pemberi hibah.
Jadi bila hibahnya dari kakek atau saudara lainnya, maka tetap sebagai Objek AP.
Masalahnya di sini, tidak dijelaskan baik di dalam PER-11/PJ/2016 maupun di lampirannya PTKP manakah yang digunakan. Dalam beberapa kesempatan di media massa dan press release Kementerian Keuangan, PTKP yang digunakan adalah PTKP 2016 yaitu sebesar Rp54 juta untuk status WP single tanpa tanggungan. Tetapi bisa juga fiskus menggunakan PTKP 2015 yaitu sebesar Rp36 juta. Hal ini masih menjadi pertanyaan di lapangan dan berpotensi terjadi dispute sehingga memerlukan penegasan lebih lanjut.
Wah, panjang juga ya bahasan kali ini. Semoga bisa memberikan sedikit pencerahan dan bisa meredam keresahan yang beredar. Dengan mengisi kolom harta dan utang dengan benar (yaitu sesuai kondisi per 31 Desember masa pajak yang dilaporkan) maka akan sangat membantu fiskus dalam melakukan pengawasan dan melakukan uji kepatuhan WP. Mengisi SPT dengan benar adalah langkah awal mencegah negara kita dari kemunduran pembangunan.
Semoga tulisan ini juga bisa membantu mengurangi beban kerja teman-teman di KPP dalam memberikan layanan konsultasi bagi WP. Tetap semangat dan jaga kesehatan ya, perjuangan kita masih panjang. Ingatlah bahwa bila kita letih melakukan kebaikan maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan itulah yang abadi.
Untuk informasi yang valid seputar Amnesti Pajak, silakan kunjungi laman resmi http://www.pajak.go.id/amnestipajak atau layanan telepon 1500745 atau KPP terdekat. Manfaatkan kesempatan yang ada sebelum periode pertama ini berakhir dengan sebaik-baiknya ya :)
Terima kasih sudah berkenan mampir, komen, dan membagikan informasi ini!
Baca juga: Cara bikin kode Billing pakai HP.
Next: Kenapa Sih Harus Lapor Harta di SPT Tahunan? dan Harta Apa Saja Sih yang Harus Dilaporkan di SPT Tahunan?
Catatan : Setelah tulisan ini diposting, pada tanggal 23 September 2016 Dirjen Pajak menerbitkan SE-43/PJ/2016 Tentang Petunjuk Teknis Mengenai Pelaksanaan PER-11/PJ/2016, yang menjelaskan bahwa PTKP yang dimaksud pada PER-11/PJ/2016 adalah sebesar Rp54 juta untuk status WP single tanpa tanggungan.