Saat ini, transaksi perdagangan elektronik telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Data Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019 jumlah transaksi perdagangan daring setiap bulannya mencapai Rp13 triliun.
Bahkan, menurut McKinsey, nilai total belanja daring di Indonesia diprediksi mencapai USD65 miliar pada tahun ini atau setara dengan kurang lebih Rp910 triliun. Ini tentu sebuah angka yang fantastis mengingat besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan III 2019 mencapai Rp4.067,8 triliun. Artinya, transaksi perdagangan elektronik mempunyai peranan yang sangat penting dalam menopang dan menggerakkan perekonomian negara kita.
Dalam bahasan terkait perpajakan, terdapat empat model transaksi perdagangan elektronik, yaitu online marketplace, classified ads, daily deals, dan online ritel. Dalam lingkup kegiatan online ritel atau toko ritel daring sendiri terdapat empat elemen yang terkait yaitu: situs toko ritel, penyelenggara situs toko ritel, pembeli atau pelanggan, dan sistem pembayaran yang ditetapkan oleh penyelenggara situs.
Untuk menjamin keadilan usaha (level of playing field), wajib pajak penyelenggara situs toko ritel yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga mempunyai kewajiban untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pembeli sama seperti dalam perdagangan konvensional. Namun, dalam praktiknya, timbul pertanyaan terkait ketentuan yang mengatur tata cara penerbitan dan penatausahaan Faktur Pajak (FP) pajak pada toko ritel daring.
Aturan PKP Pedagang Eceran Konvensional
Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang ritel dan mempunyai klasifikasi usaha sebagai pedagang eceran ketika mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) disebut sebagai Pedagang Eceran (PE) apabila dalam kegiatan usahanya melakukan kegiatan dengan karakteristik tertentu.
Karakteristik ini disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 20 ayat (2) yaitu: melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya; dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
Akibat karakteristik tersebut, jumlah transaksi penyerahan barang yang dilakukan oleh PKP PE relatif banyak dengan nilai relatif kecil sehingga PE mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP lainnya dalam pembuatan dan penatausahaan FP. Oleh karena itu, untuk memberikan kemudahan dalam berusaha dan kepastian hukum, PKP PE diberikan aturan khusus dalam membuat dan menatausahakan FP.
Peraturan yang secara khusus mengatur hal tersebut adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-58/PJ/2010 tentang Bentuk dan Ukuran Formulir Serta Tata Cara Pengisian Keterangan Pada Faktur Pajak Bagi PKP Pedagang Eceran. Dalam Pasal 2 Perdirjen tersebut disebutkan bahwa PKP PE wajib membuat FP untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Selanjutnya, diatur tentang jenis FP yang dibuat oleh PKP PE dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Bentuk dan ukuran formulir FP tersebut disesuaikan dengan kepentingan PKP PE dan pengadaannya dilakukan oleh PKP PE.
Sejak 1 Januari 2011, FP yang dibuat oleh PKP PE ini dilaporkan di SPT Masa PPN Formulir 1111 AB di kolom I.B.2 yaitu di kolom Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak yang Digunggung. Faktur Pajak yang Digunggung adalah FP yang tidak diisi dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka (2) UU KUP.
Khusus untuk PE, dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 20 ayat (1) diatur bahwa PE yang membuat FP tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 UU KUP.
Bagaimana dengan PKP PE Daring?
Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat sistem perdagangan berubah drastis. Jarak antara penjual dan pembeli hanya berbatas gawai dan kuota internet. Pengelola toko ritel daring yang berstatus PKP PE kini lebih dimudahkan dalam membuat FP sebab data yang dibutuhkan untuk membuat FP sebagaimana dimaksud dalam PER-58/PJ/2010 telah disediakan oleh sistem daring yang canggih.
Kini, untuk pelaporan nilai Faktur Pajak yang Digunggung pada SPT Masa PPN Formulir 1111 AB di kolom I.B.2 pun dapat dilakukan dengan lebih mudah. Wajib pajak hanya perlu merekapitulasi data transaksi dari sistem data FP yang dibuat oleh PKP sendiri dan menjumlahkan nilainya untuk dilaporkan pada aplikasi efaktur.
Sejauh ini belum ada peraturan teknis yang secara eksplisit mengatur tentang kewajiban PKP PE daring ini. Petunjuk khusus terkait pembuatan faktur dan penatausahaan PKP PE yang berlaku masih merujuk pada bentuk PE konvensional yang mensyaratkan adanya keberadaan fisik seperti toko atau kios yang mempertemukan antara penjual dengan konsumen akhir.
Selain itu, cara penjualan eceran konvensional yang tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang, dan dilakukan secara tunai, kemungkinan besar tidak selalu terpenuhi dalam sistem transaksi daring. Saat ini, pembeli dapat memesan barang melalui situs atau aplikasi sosial media dan pembelian dapat dilakukan melalui kartu kredit, transfer melalui rekening yang ditunjuk oleh pengelola situs, atau penyedia jasa layanan keuangan daring lainnya.
Menurut penulis, sebaiknya aturan teknis yang mengatur penerbitan dan penatausahaan FP bagi toko ritel daring perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dibutuhkan untuk menjamin kepastian hukum dan kesetaraan level dalam berusaha. Sehingga, para pemilik toko ritel daring akan makin terdorong untuk lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Artikel ini sebelumnya telah tayang di sini.