Sumber |
Aku selalu ingin menjadi anak Ibu yang paling
mirip dan paling disayanginya. Aku ingin tersenyum sehangat senyumnya, menatap
seteduh pandangannya, dan berlaku anggun persis sepertinya. Setiap hari, Ibu
bangun paling awal dan melakukan semua pekerjaan rumah tangga dengan tekun
tanpa bersuara. Bila seisi rumah harus bangun dan tak seorang pun melakukannya,
dia akan mencium pipi semuanya satu per satu hingga terjaga. Tak sekali pun Ibu
murka bila anak-anaknya melakukan kesalahan. Wajahnya mungkin memerah atau urat
lehernya akan sedikit bertonjolan, tapi hanya sebatas itu. Sepertinya tidak
mungkin juga membayangkan Ibu mengacungkan gagang sapu untuk sekadar mengusir
kucing yang masuk ke dapur. Persisnya, Ibu seperti jelmaan malaikat yang turun
ke bumi dalam wujud manusia. Wujud ibuku.
Tapi semua kebaikan itu dikecualikannya
untukku.
Bibir yang pendiam itu mengeluarkan cacian dan
makian terkasarnya setiap kali Bapak dan kakak-kakakku pergi. Mata yang teduh
itu seketika melotot setiap kali melihatku keluar dari kamar. Dan gagang sapu
itu selalu melayang ke pantatku tiap kali aku berbuat kesalahan. Pada saat itu
kadang aku berharap bisa menjelma jadi anak kucing yang diam-diam mencuri ikan
asin.
Orang-orang berkata bahwa aku bukan anak Ibu.
Mereka bilang aku adalah anak yang dibuang seseorang dalam kardus bersama
sepucuk surat dan diletakkan begitu saja di depan pintu rumah Ibu, tujuh tahun
lalu. Waktu itu kondisiku begitu mengenaskan. Selain karena terlahir dengan ukuran
kepala yang tidak normal dan mata yang juling, di beberapa bagian tubuhku juga
terdapat beberapa luka bekas gigitan hewan sehingga bernanah dan mengoreng. Saat
itu Ibu sudah akan menyerahkanku ke panti asuhan, tapi mereka menolak dengan
alasan tidak mampu merawat anak berkebutuhan khusus.
Mereka tidak tahu bahwa aku tumbuh selayaknya
anak normal. Meskipun Ibu hanya memberiku makanan sehari sekali, aku tumbuh cukup
sehat dan jarang sakit. Tiap kali Ibu ke dapur, kakak-kakakku diam-diam memberikan
sisa makanannya ke piringku. Tanpa sepengetahuannya pula Bapak rutin membawaku
ke dokter untuk memeriksakan kesehatanku. Selain beberapa kali kejang yang
menyerangku di waktu balita, kurasa aku adalah anak Ibu yang cukup kuat dan
bisa dibanggakan.
Namun ibuku tak pernah berpikir demikian.
Ibu selalu mengeluh pada Bapak bahwa aku adalah
beban bagi hidupnya. Aku adalah parasit yang mengisap penghasilan Bapak yang
tak seberapa. Kadang aku curiga sebenarnya Ibu tahu apa yang dilakukan Bapak dan
kakak-kakakku di belakangnya, tapi alih-alih menegur, Ibu lebih suka
melampiaskannya padaku. Ibu tak ingin wibawanya jatuh di mata keluarga.
Tapi Ibu tak bisa menahan murka ketika Bapak
mengusulkan untuk memasukkanku ke sekolah. Kata Bapak, umurku sudah lebih dari
cukup. Ibu menolak karena baginya percuma menyekolahkanku, toh aku takkan jadi
apa-apa. Ibu juga berkata kalau umurku takkan lama. Diam-diam aku menguping
pertengkaran itu. Hatiku hancur sebab aku tak ingin Ibu bertengkar dengan
Bapak.
Pertengkaran itu sungguh tak perlu. Bagiku
sekolah tak penting benar selama aku bisa membaca. Aku ingin membaca sepucuk
surat yang ditinggalkan ibu kandungku. Dan itu lebih dari cukup bagiku.
Ibu tak pernah tahu kalau diam-diam kakak
sulungku mengajariku membaca surat itu. Ibu tak pernah tahu kalau aku tahu
bahwa aku yang cacat ini adalah hasil hubungan gelap Bapak dengan ibu kandung
yang membuangku.
Jumlah kata : 500 kata.
HIks :(
BalasHapusMakasih yah udah ikutan Lia ^^
Sama-sama Mbak, senang deh ikutan GA-mu.
HapusAku jadi rajin nulis lagi :)