Sumber |
Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian negara. Hal ini dibuktikan dengan peranannya yang mendominasi hingga lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dan memiliki proporsi 99% dari total pelaku usaha di Indonesia. Sektor ini tentu tak dapat dipandang sebelah mata. Fakta yang menunjukkan bahwa kontribusi pajak hanya sebesar 2,2% terhadap total penerimaan PPh yang dibayar sendiri oleh wajib pajak menunjukkan otoritas pajak perlu memberikan perhatian dan penanganan khusus.
Itu adalah salah satu latar belakang terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018) yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46/2013). Di dalam aturan tersebut, diberikan beberapa kemudahan dan juga insentif kepada para pelaku UMKM agar dapat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal. Salah satu bentuk insentif itu adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final dari satu persen menjadi setengah persen. Dengan insentif ini diharapkan wajib pajak akan makin berkembang usahanya dan dalam jangka waktu tertentu dapat menambah kontribusinya kepada negara melalui pajak.
Selain perubahan tarif, ada perbedaan mendasar dengan PP 46/2013 yang kiranya perlu dicermati dan dapat diberikan masukan agar pelaksanaan PP 23/2018 dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Kemudahan dari Sisi Administrasi
Sebelumnya, dalam PP 46/2013 diatur mengenai penggunaan SKB (Surat Keterangan Bebas) untuk membebaskan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/23 oleh pihak lain dengan pengajuan legalisir ke kantor pajak terdaftar. Untuk mendapatkan legalisir ini, wajib pajak harus terlebih dahulu menyetor pembayaran PPh Final sebesar satu persen dari omzet sebagaimana dalam surat perjanjian/invoice yang dilampirkan. Ketentuan ini juga mengatur bahwa SKB harus diajukan per jenis pajak.
Praktik ini selain merepotkan wajib pajak yang harus bolak-balik melegalisir SKB, terkadang juga merugikan manakala ternyata lawan transaksi –karena satu dan lain hal- menolak menggunakan SKB itu. Walhasil, alih-alih dibebaskan PPh-nya, wajib pajak malah menanggung dua kali pemajakan atas satu objek yang sama. Meski masih bisa mengajukan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atau mengakuinya di SPT Tahunan sebagai kredit pajak, kebanyakan wajib pajak enggan mengambil opsi kedua lantaran malas berhadapan dengan pemeriksa pajak.
Dalam skema PP 23/2018, terdapat Surat Keterangan yang menerangkan kepada pemotong/pemungut PPh lawan transaksi bahwa atas penghasilan wajib pajak UMKM tersebut harus dipotong PPh Final sebesar 0,5% dari nilai dasar pengenaan pajaknya. Tidak diperlukan lagi legalisir ke kantor pajak. Dengan demikian, biaya kepatuhan wajib pajak akan bisa ditekan.
Dalam hal ini, sosialisasi kepada wajib pajak badan selaku pihak pemotong/pemungut PPh dan terutama kepada bendaharawan pemerintah dan non-bendaharawan harus segera dilakukan secara masif agar tidak ada lagi resistensi dalam penggunaan Surat Keterangan. Aturan petunjuk pelaksanaan terkait tata cara pelaporan pemotongan/pemungutan PPh Final ini pun harus segera diterbitkan untuk mempermudah pengawasan dan tidak menimbulkan perbedaan penerapan di lapangan.
Berakhirnya Rezim Switching
Sebelum PP 23/2018 terbit, wajib pajak yang omzetnya naik-turun di kisaran angka 4,8 miliar rupiah dipusingkan dengan berganti-gantinya metode penghitungan PPh akibat perubahan omzet. Apabila di tahun lalu omzet di atas nilai itu, wajib pajak harus menggunakan skema tarif Pasal 17 UU PPh. Apabila omzet di bawahnya, maka kembali menggunakan skema PPh Final satu persen. Wajib pajak yang tidak memahami aturan ini harus direpotkan dengan permohonan pemindahbukuan atas jenis setoran yang salah atau bahkan diperiksa pajaknya atas kelebihan bayar dalam SPT Tahunan akibat terlambat mengajukan SKB PP 46.
Aturan baru meniadakan hal ini. Sekali wajib pajak beromzet 4,8 miliar rupiah ke atas maka di tahun pajak berikut dan seterusnya wajib menggunakan tarif PPh Pasal 17 dan mengadakan pembukuan. Ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan menghindari kerumitan akibat gonta-ganti skema penghitungan PPh.
PPh Final Adalah Pilihan
Pada PP 46/2018, PPh Final dikenakan atas penghasilan bruto yang diperoleh dari nilai transaksi sebelum dikurangi biaya-biaya usaha sehingga wajib pajak tidak dapat mengkui kerugiannya. Sebenarnya metode ini lazim digunakan di negara-negara berkembang atau negara-negara yang baru terbentuk dan dalam periode transisi. Skema pemajakan ini dinilai simpel, menyasar kalangan yang sulit dipajaki, dan belum siap untuk memakai sistem akuntansi yang rapi.
Sayangnya, bagi wajib pajak yang laba usahanya relatif kecil, metode final ini tidak menguntungkan sehingga berpotensi terjadi penggelapan pajak dengan mengecilkan omzet atau tidak menyetorkan jumlah pajak yang sebenarnya. Ini bagai memakan buah simalakama, antara jujur atau berpotensi menderita kerugian usaha.
PP 23/2018 tidak menjadikan skema pemajakan PPh Final sebagai kewajiban, melainkan sebagai opsi. Wajib pajak diperkenankan tidak menggunakan metode ini setelah mengirimkan surat pemberitahuan ke kantor pajak terdaftar. Aturan ini mendorong UMKM agar siap memasuki ekonomi formal dan bersungguh-sungguh dalam menghitung laba bersihnya. Kesungguhan ini akan memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya sesuai proporsi. Ini adalah perwujudan dari azas keadilan pajak.
Pembukuan Bukan Momok
Beberapa pihak mengeluhkan jangka waktu pengenaan PPh Final yang dirasa terlalu pendek: 3 tahun bagi PT; 4 tahun bagi CV, Firma, dan Koperasi; dan 7 tahun bagi orang pribadi. Sebenarnya, wajib pajak UMKM yang telah terdaftar dan sebelumnya telah menggunakan skema PP 46/2013, sudah menikmati insentif pajak dari pemerintah selama lima tahun terakhir.
Bagi pelaku UMKM yang baru ber-NPWP setelah berlakunya aturan ini, PP 23/2018 memberikan paradigma baru bahwa pembukuan seharusnya dipandang sebagai instrumen yang membantu wajib pajak mengevaluasi dan mengambil keputusan terkait pengembangan usahanya, alih-alih sebagai momok yang menakutkan.
Jangka waktu tertentu pengenaan PPh Final di tahun-tahun awal berusaha adalah kesempatan untuk belajar pembukuan dan menghitung laba bersih usaha. Dengan demikian, ketika wajib pajak menyudahi jangka waktu fasilitas PPh Final, ia telah siap memahami hak dan kewajibannya dengan menggunakan metode tarif PPh Pasal 17.
Para wajib pajak tak perlu khawatir, kini banyak aplikasi yang mendukung UMKM untuk belajar pembukuan sederhana. Ditjen Pajak pun gegas berbenah. Medio tahun ini telah diluncurkan petunjuk pelaksanaan program Business Development Services (BDS) sebagai salah satu strategi dalam membina dan mengawasi wajib pajak secara berkesinambungan.
Beberapa bentuk program ini adalah melakukan edukasi perpajakan dan pendampingan UMKM seperti: cara membuat pembukuan sederhana, manajemen pengelolaan usaha, strategi pemasaran daring, hingga cara mengajukan kredit ke bank. Dengan demikian, wajib pajak UMKM bukan hanya sebagai pihak yang semata-mata berkontribusi tetapi juga mendapatkan benefit dan tambahan amunisi dalam pengembangan bisnisnya. Dengan strategi yang tepat, Direktorat Jenderal Pajak dapat menambah basis pajak baru dan sekaligus mengatrol penerimaan pajaknya yang kontinu dari sektor ini.
Itu adalah salah satu latar belakang terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018) yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46/2013). Di dalam aturan tersebut, diberikan beberapa kemudahan dan juga insentif kepada para pelaku UMKM agar dapat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal. Salah satu bentuk insentif itu adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final dari satu persen menjadi setengah persen. Dengan insentif ini diharapkan wajib pajak akan makin berkembang usahanya dan dalam jangka waktu tertentu dapat menambah kontribusinya kepada negara melalui pajak.
Selain perubahan tarif, ada perbedaan mendasar dengan PP 46/2013 yang kiranya perlu dicermati dan dapat diberikan masukan agar pelaksanaan PP 23/2018 dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Kemudahan dari Sisi Administrasi
Sebelumnya, dalam PP 46/2013 diatur mengenai penggunaan SKB (Surat Keterangan Bebas) untuk membebaskan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/23 oleh pihak lain dengan pengajuan legalisir ke kantor pajak terdaftar. Untuk mendapatkan legalisir ini, wajib pajak harus terlebih dahulu menyetor pembayaran PPh Final sebesar satu persen dari omzet sebagaimana dalam surat perjanjian/invoice yang dilampirkan. Ketentuan ini juga mengatur bahwa SKB harus diajukan per jenis pajak.
Praktik ini selain merepotkan wajib pajak yang harus bolak-balik melegalisir SKB, terkadang juga merugikan manakala ternyata lawan transaksi –karena satu dan lain hal- menolak menggunakan SKB itu. Walhasil, alih-alih dibebaskan PPh-nya, wajib pajak malah menanggung dua kali pemajakan atas satu objek yang sama. Meski masih bisa mengajukan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atau mengakuinya di SPT Tahunan sebagai kredit pajak, kebanyakan wajib pajak enggan mengambil opsi kedua lantaran malas berhadapan dengan pemeriksa pajak.
Dalam skema PP 23/2018, terdapat Surat Keterangan yang menerangkan kepada pemotong/pemungut PPh lawan transaksi bahwa atas penghasilan wajib pajak UMKM tersebut harus dipotong PPh Final sebesar 0,5% dari nilai dasar pengenaan pajaknya. Tidak diperlukan lagi legalisir ke kantor pajak. Dengan demikian, biaya kepatuhan wajib pajak akan bisa ditekan.
Dalam hal ini, sosialisasi kepada wajib pajak badan selaku pihak pemotong/pemungut PPh dan terutama kepada bendaharawan pemerintah dan non-bendaharawan harus segera dilakukan secara masif agar tidak ada lagi resistensi dalam penggunaan Surat Keterangan. Aturan petunjuk pelaksanaan terkait tata cara pelaporan pemotongan/pemungutan PPh Final ini pun harus segera diterbitkan untuk mempermudah pengawasan dan tidak menimbulkan perbedaan penerapan di lapangan.
Berakhirnya Rezim Switching
Sebelum PP 23/2018 terbit, wajib pajak yang omzetnya naik-turun di kisaran angka 4,8 miliar rupiah dipusingkan dengan berganti-gantinya metode penghitungan PPh akibat perubahan omzet. Apabila di tahun lalu omzet di atas nilai itu, wajib pajak harus menggunakan skema tarif Pasal 17 UU PPh. Apabila omzet di bawahnya, maka kembali menggunakan skema PPh Final satu persen. Wajib pajak yang tidak memahami aturan ini harus direpotkan dengan permohonan pemindahbukuan atas jenis setoran yang salah atau bahkan diperiksa pajaknya atas kelebihan bayar dalam SPT Tahunan akibat terlambat mengajukan SKB PP 46.
Aturan baru meniadakan hal ini. Sekali wajib pajak beromzet 4,8 miliar rupiah ke atas maka di tahun pajak berikut dan seterusnya wajib menggunakan tarif PPh Pasal 17 dan mengadakan pembukuan. Ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan menghindari kerumitan akibat gonta-ganti skema penghitungan PPh.
PPh Final Adalah Pilihan
Pada PP 46/2018, PPh Final dikenakan atas penghasilan bruto yang diperoleh dari nilai transaksi sebelum dikurangi biaya-biaya usaha sehingga wajib pajak tidak dapat mengkui kerugiannya. Sebenarnya metode ini lazim digunakan di negara-negara berkembang atau negara-negara yang baru terbentuk dan dalam periode transisi. Skema pemajakan ini dinilai simpel, menyasar kalangan yang sulit dipajaki, dan belum siap untuk memakai sistem akuntansi yang rapi.
Sayangnya, bagi wajib pajak yang laba usahanya relatif kecil, metode final ini tidak menguntungkan sehingga berpotensi terjadi penggelapan pajak dengan mengecilkan omzet atau tidak menyetorkan jumlah pajak yang sebenarnya. Ini bagai memakan buah simalakama, antara jujur atau berpotensi menderita kerugian usaha.
PP 23/2018 tidak menjadikan skema pemajakan PPh Final sebagai kewajiban, melainkan sebagai opsi. Wajib pajak diperkenankan tidak menggunakan metode ini setelah mengirimkan surat pemberitahuan ke kantor pajak terdaftar. Aturan ini mendorong UMKM agar siap memasuki ekonomi formal dan bersungguh-sungguh dalam menghitung laba bersihnya. Kesungguhan ini akan memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya sesuai proporsi. Ini adalah perwujudan dari azas keadilan pajak.
Pembukuan Bukan Momok
Beberapa pihak mengeluhkan jangka waktu pengenaan PPh Final yang dirasa terlalu pendek: 3 tahun bagi PT; 4 tahun bagi CV, Firma, dan Koperasi; dan 7 tahun bagi orang pribadi. Sebenarnya, wajib pajak UMKM yang telah terdaftar dan sebelumnya telah menggunakan skema PP 46/2013, sudah menikmati insentif pajak dari pemerintah selama lima tahun terakhir.
Bagi pelaku UMKM yang baru ber-NPWP setelah berlakunya aturan ini, PP 23/2018 memberikan paradigma baru bahwa pembukuan seharusnya dipandang sebagai instrumen yang membantu wajib pajak mengevaluasi dan mengambil keputusan terkait pengembangan usahanya, alih-alih sebagai momok yang menakutkan.
Jangka waktu tertentu pengenaan PPh Final di tahun-tahun awal berusaha adalah kesempatan untuk belajar pembukuan dan menghitung laba bersih usaha. Dengan demikian, ketika wajib pajak menyudahi jangka waktu fasilitas PPh Final, ia telah siap memahami hak dan kewajibannya dengan menggunakan metode tarif PPh Pasal 17.
Para wajib pajak tak perlu khawatir, kini banyak aplikasi yang mendukung UMKM untuk belajar pembukuan sederhana. Ditjen Pajak pun gegas berbenah. Medio tahun ini telah diluncurkan petunjuk pelaksanaan program Business Development Services (BDS) sebagai salah satu strategi dalam membina dan mengawasi wajib pajak secara berkesinambungan.
Beberapa bentuk program ini adalah melakukan edukasi perpajakan dan pendampingan UMKM seperti: cara membuat pembukuan sederhana, manajemen pengelolaan usaha, strategi pemasaran daring, hingga cara mengajukan kredit ke bank. Dengan demikian, wajib pajak UMKM bukan hanya sebagai pihak yang semata-mata berkontribusi tetapi juga mendapatkan benefit dan tambahan amunisi dalam pengembangan bisnisnya. Dengan strategi yang tepat, Direktorat Jenderal Pajak dapat menambah basis pajak baru dan sekaligus mengatrol penerimaan pajaknya yang kontinu dari sektor ini.