Sabtu, 29 November 2014

KISAH RA DAN RA



Aku masih ingat hari itu, hari pertama kita bertemu.
Keyra, panggil aja Ra,” dengan antusias kau ulurkan tanganmu.
“Zahra, panggil saja Ra,” sambutku juga tersenyum.
Sedetik kemudian kita tertawa, mungkin sama-sama bertanya kenapa hal ini bisa terjadi. Tentu saja bukan hanya karena nama panggilan yang sama, melainkan juga karena secara fisik wajah kita sangat mirip. Postur kita juga sekilas serupa : semampai, berkulit terang, dan berambut panjang. Bila kulepaskan kacamata dan kugerai rambut yang selalu kuikat ekor kuda ini, orang lain pasti salah mengira.
“Kamu yakin kan bapak dan ibu kita beda? Atau mungkin bapakmu dulu pernah ke Bandung waktu muda?” candamu waktu itu, membuat wajahku memerah.
“Bercanda Raaa. Jangan serius gitu ihh!” kamu tetap terkekeh. Aku memang sensitif kalau masalah yang satu ini. Buatku soal nasab bukanlah hal yang pantas dijadikan bahan bercanda.
Tapi kita memang berbeda. Hal lain yang kusimpulkan setelah kita jadi teman sekamar di asrama. Kamu selalu ceria, meriah kalau tidak bisa dibilang berisik, dan kamu adalah salah satu kembang kampus yang bersinar. Selalu menjadi pujaan dan dikelilingi kumbang-kumbang. Kamu seperti alter-ego yang hidup dan bersisian denganku.
“Ra, memang kamu gak mau pacaran? Enak gila. Ada yang nraktir, antar-jemput, ngajakin nonton, dan kasih perhatian tiap hari…,” godamu suatu hari.
Aku tersenyum kalem tanpa memindahkan pandanganku dari layar komputer. “Kalau cuma itu enaknya pacaran, aku bisa dapat semua itu dari kamu, Ra.”
Bibirmu manyun. Gagal.
“Tapi kan gak ada yang peluk-peluk kita, cium-cium kita, ahhh, cup-cup…,” kamu terus berusaha. Huh, mulai mesum nih. Habis deh si Panda bonekaku jadi korban keganasanmu. Buru-buru kurebut sebelum basah oleh air liurmu.
“Tuh kaaan, si Panda basah! Ngapain pacaran kalau cuma perlu cium dan peluk doang! Panda aja bisa. Aku juga bisaaa! Sini-sini…,” kukejar kau sambil tertawa-tawa. Lalu kita berkejaran di sepanjang lorong asrama.
Semakin lama aku mengenalmu, semakin ku sadar betapa kita berbeda. Kamu lebih berani, suka melanggar aturan, dan menentang siapapun yang menghalangi jalanmu. Mama-Papamu mungkin terlalu memanjakanmu sehingga kamu jadi pribadi yang bebas dan tak suka dibelenggu. Sebenarnya itu bukan masalah selama tak menyangkut kehidupanku. Masalahnya adalah kadang kamu menggunakan kemiripan kita untuk menjalankan rencanamu.
“Ra, mulai besok malam aku gak bisa lagi bohongin Pak Tejo pura-pura jadi kamu,” ujarku setelah sebulan jadi korban ide gilamu. Setiap kali kamu ingin kencan dengan kekasihmu, aku selalu menggantikanmu dengan berpura-pura mengajak ngobrol penjaga asrama sampai kamu berhasil menyelinap keluar. Tentu saja hal ini kulakukan setelah melepas kacamata dan mengurai rambutku. Sebuah ide yang selalu sukses karena Pak Tejo yang berumur selalu sulit membedakan kita.
“Kenapa? Kamu kan tahu gue sudah kena tegur beberapa kali sebelumnya. Cuma ini satu-satunya cara biar gue gak kena sanksi, Ra,” protesmu dengan wajah keruh.
“Mulai besok aku putuskan berhijab, Ra,” jawabku. Mulutmu ternganga.
“Serius, Ra?” Aku mengangguk. Wajahmu seperti ngeri seketika.
“Sayang banget…kamu menyia-nyiakan masa muda. Tubuh bagus gini kok ditutupin. Ntar jodohmu jauh lo,” komentarmu seperti biasa, tak pernah sepakat denganku.
“Soal jodoh sudah ada yang ngatur, Ra. Justru aku lagi nyeleksi biar hanya cowok yang benar-benar mau nerima karena akhlakku, bukan semata-mata karena tubuhku, yang berhak jadi suamiku kelak,” jelasku sok bijak. Bibirnya mencibir.
“Gak panas? Jakarta panas gini…,” debatmu lagi.
“Masih lebih panas di neraka,” ujarku lalu ngeloyor pergi. Tak kuhiraukan celotehmu yang riuh-rendah di balik punggungku, protes dengan keputusanku. Biarin, nanti juga reda sendiri.
Setelah itu petualangan malammu berhenti dengan sendirinya. Kukira itu efek dari keputusanku. Ternyata aku salah. Belakangan baru kutahu kamu putus cinta lagi untuk kesekian kali.
“Gue diputusin Ra, karena cewek lain,” kamu tergugu, menghabiskan berhelai-helai tisu. Aku hanya terdiam memelukmu. “Beginilah cinta, deritanya tiada akhir…,” bisikku.
“Dasarrr Pat Kay!!” umpatmu sambil melempar si Panda. Sedetik kemudian kita tertawa, tak lupa sambil berkejaran di lorong asrama. Selalu begitu. Sepertinya tak ada hal yang bisa membuatmu bersedih lama.
Sampai hari itu kutemui kamu terduduk lesu di samping jendela. Wajahmu terlihat aneh, matamu seperti siap meleleh.
“Ra, kamu kenapa?”
Sejenak kamu menoleh. Lalu kembali memandang ke luar jendela.
“Gue…gue takut mati Ra…,” ujarmu pelan.
Aku terhenyak. Pelan kudekati dan kuraih bahumu yang terkulai lesu.
“Maksudmu?”
“Tadi gue ke rumah sakit, ambil hasil tes lab beberapa hari yang lalu. Kamu tahu kan keluhanku selama ini. Dan kata dokter…kata dokter…,” kisahmu berhenti sampai di situ. Kubaca lembar berwarna putih yang kau sodorkan padaku.
“Apa ini, Ra?”
“Katanya gue kena kanker serviks Ra, stadium lanjut....”
Mataku terbelalak.
“Gue takut, Ra….” Lalu kuhabiskan semalaman memelukmu erat.
Waktu berlalu. Wajahmu masih juga sendu. Baru kali ini kudapati kesedihan menggelayutimu begitu lama. Tubuhmu semakin kurus, kondisimu semakin menurun karena kamu menolak berobat. Mama-Papamu sangat kecewa.
“Ra, please turuti ortumu. Bukan hanya kamu yang paling menderita di dunia ini. Kalau kamu menyerah sekarang berarti kamu gak menyukuri nikmat Tuhan,” nasihatku suatu hari.
“Nikmat yang mana, Ra? Nikmat sakit?”
“Setiap kita menunggu mati, Ra. Gak ada bedanya aku dan kamu. Kamu lebih beruntung karena Tuhan masih memperingatkanmu. Kamu bisa memilih untuk berjuang, mengisi hari-harimu dengan kebaikan, atau menyerah sekarang. Bukan kematian yang menjadikan kita dikenang, tapi memori seperti apa yang kita tinggalkan….”
Awalnya wajahmu tetap datar. Tetapi sedetik kemudian kulihat lagi matahari itu terbit di wajahmu. Yup, sahabatku yang dulu telah kembali. Sesudah itu hidupmu tak layu lagi. Kamu tetap beraktivitas di sela-sela pengobatanmu. Bahkan kini aktivitas itu semakin positif. Lihat, kamu bahkan tak canggung mengajar anak-anak jalanan meski rambutmu yang rontok karena kemoterapi tak kunjung tumbuh seperti semula.
“Aku ingin berhijab, Ra, tapi aku gak mau berhijab hanya untuk menutupi kepalaku ini,” curhatmu suatu hari.
“Allah tuh maunya kamu berhijab tanpa peduli alasanmu. Soal meluruskan niat itu bisa sambil jalan. Kalau nunggu niatmu sempurna, mau nunggu sampai kapan? Yakin masih ada waktu?”
Lalu kamu terdiam lama, sebelum akhirnya kamu tertawa. “Iya, Ra. Kalau aku mati besok, aku ingin menghadap Allah dengan lebih sempurna.”
Wajahku berbinar mendengarnya. Inilah akhir yang sempurna bagimu, sahabatku. Tak semua orang bisa seperti itu. Berapa banyak orang yang terlena merasa amalnya sempurna, tanpa sempat bertaubat di akhir hidupnya. Itu sebuah rahasia besar. Aku pun tak tahu bahwa aku mengidap penyakit jantung yang merenggut nyawaku di hari wisuda kita, hari pertama kau memutuskan berhijab.

Credit
Jumlah kata : pas 1000 kata ^_^
Fiksi ini ditulis dalam rangka ikutan “Attarandhismind First Giveaway
Met ultah buat blognya Bang Admin MFF. Semoga selalu bisa menebar kebaikan dan jadi ladang amal ya :) Amiin....

4 komentar:

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^